31 | Cinta

5.4K 749 304
                                    

Ody


"Nih, udah." Ista menyerahkan kamera itu kepada pemiliknya, setelah menghabiskan waktu kurang lebih lima menit untuk mengabadikan momen aku dan kawan-kawan Agi.

"Makasih ya," ujar Marcell seraya mesem-mesem genit. "Tadi siapa namanya?"

"Kalista," sahut Ista datar.

"HUUUUU!" sorak Dewa ribut. Guk guk guk. Coco dan Willy turut bersorak ribut.

"CARI KESEMPATAN MULU LO!" Yudhis menoyor kepala Marcell.

Selepas itu, aku dan Ista duduk di kursi taman, meninjau kerumunan.

"Gimana, Ta?" Aku menyenggol Ista.

"Apanya?" Ista menarikkan satu alis.

"Tuh, yang itu. Si Dewa." Aku menunjuk Dewa dengan daguku--yang tengah berjalan menuju meja prasmanan--Willy dan Coco masih betah di gendongannya.

Kuamati sohib Agi itu dari jarak jauh. Kulitnya putih bersih, bibirnya merah merekah, rambutnya belah pinggir--sejujurnya, tanpa kumis, wajah Dewa ini bisa dibilang tergolong cantik. Ia mengenakan batik warna cokelat. Tubuhnya sangat tinggi--mungkin setara atau bahkan lebih tinggi dari Hugo.

"Dewa? Itu yang namanya Dewa? Lo bilang dia kumisan!" protes Ista. Wah, ia hapal betul rupanya.

"Yee udah cukuran lah. Oke gak, nih? Kalau oke, gue kenalin." Aku tersenyum seraya menaik-turunkan alis. "Atau mau sama Marcell?"

Aku mengarahkan manik mataku pada sosok dengan rambut ikal yang diganggu gugat angin. Rahangnya kokoh, matanya dalam, hidungnya runcing, pipinya kemerahan. Pria itu tertawa-tawa konyol seolah isi hidupnya hanya konten komedi.

Ista mencibir. "Ogah! Udah ah, gue cabut!" Ista menyandang tasnya, bangkit.

***

Aku meninjau suasana pesta yang setengah lengang. Tamu undangan mulai bubar satu per satu. Hanya tersisa aku, keluarga kecilku, keluarga inti Agi, dan sahabat-sahabat Agi. Aku duduk di tangga, di dekat kamar tamu. Sebelum acara mulai, aku sempat menyelipkan selembar surat untuk Agi, di atas zipper map warna hijau miliknya. Sekarang, zipper map itu bertengger lemas di mulut Coco.

Coco dan Willy--dua anjing peliharaanku, berjalan beriringan menghampiri.

Guk guk!

"Hei, Coco. Itu kan, punya Agi. Balikin lagi sana," titahku.

Guk guk guk! Gantian Willy--anjing jantanku yang kalem, menyalak. Coco menggigit zipper map itu, lalu meletakkannya di atas kakiku.

Guk guk guk!

Duh, aku sedang tidak mood bermain dengan anjing-anjingku. Bukan apa-apa, aku sedang mengenakan kebaya ketat yang membuatku tidak leluasa bergerak. Kedua anjingku masih menggonggong, seolah memaksaku menyentuh zipper map itu.

Eh, sebentar. Aku merasakan zipper map itu bergetar, menggelitik ujung kakiku. Aku meraih benda tersebut, membuka ritsleting-nya. Oh, ada ponsel Agi di sana. Ponsel barunya, yang berwarna merah itu. Willy dan Coco setia menanti di sisiku, kusempatkan sejenak mengelus kepala mereka. "Good boy, good girl. Thank you!"

Aku melotot tatkala melihat layarnya--ada 35 missed call. Serius, ada 35. Sekarang ada panggilan masuk, yang berarti adalah panggilan ke-36.

Aku langsung menggeser ikon telepon tanpa berpikir panjang--juga tanpa meminta izin Agi. Asumsiku, jika seseorang menghabiskan waktu untuk menelepon hingga puluhan kali, pasti ada hal yang amat mendesak, bukan?

In Between In Between ✔️ | ODYSSEY vol. 1Where stories live. Discover now