Bab 5 : Kilas Balik Kekecewaan

23 15 2
                                    

 Aku benci kamu, Ayah.

Iris Carlson terbuka. Tersadar bahwa dia sudah tertidur diruang kerja, pria itu menyentuh dahinya yang berputar.

Pria itu mengusap wajahnya kasar. Irisnya berpendar melihat jam yang tergantung. Pukul setengah dua belas. Sebentar lagi waktunya makan siang.

Bersandar pada kursi kerja. Mengurut dahinya yang masih terasa berdenyut. Padahal hanya mimpi, tapi kenapa sanggup membuat Carlson gelisah sejak tadi? Sekarang, pikirannya berkelana saat dia tak sengaja bertemu dengan Amara di Mall. Hal terakhir yang Amara lakukan setelah mengatakan kalimat yang tak pernah Carlson duga adalah melarikan diri.

Mengepalkan tangan, dahi Carlson berkerut. Setiap hari, dunianya selalu hitam, saat Leia datang mewarnai hidupnya seperti pelangi, bahkan Leia pelangi itu sendiri. Carlson pikir hidupnya sudah sempurna hanya dengan kehadiran Leia. Tapi, justru dirinya kehilangan hal penting yang ada dihidupnya.

Pelaku utamanya, yang merenggut cintanya adalah Amara.

Hari-harinya kembali suram. Tidak ada siapapun yang bisa menopang dirinya, Carlson kehilangan bagian penting dalam hidupnya. Dan Leia justru meninggalkan sesuatu yang membuat Carlson membencinya. Seharusnya, saat itu bukan Leia yang berkorban. Seharusnya, Amara tidak pernah ada!

"Menggelikan." Carlson menunduk berkilat-kilat. Dibutakan oleh rasa marah, pria itu berkali lipat lebih membenci Amara. "Seharusnya aku yang mengatakan agar kau tidak pernah terlahir, Amara." Kebenciannya terlalu dalam untuk disembuhkan.

Karena Carlson sakit sejak dulu. Kehadiran Leia sebagai penyembuhnya dan kehadiran Amara adalah bendera kematian untuk gadis itu sendiri.

Sampai kapanpun,

Carlson mengepalkan tangan. Maniknya bersinar tajam. "Aku tidak akan mengakuimu sebagai putriku,"

***

Amara mengerjapkan matanya. Tubuhnya bergerak gelisah.

"JIKA SAJA KAU TIDAK TERLAHIR, ISTRIKU TIDAK AKAN MATI!!"

Terjaga. Lagi-lagi nafasnya tersengal. Matanya panas. Hidungnya tersumbat. Amara menggerakkan kepalanya, pusing bukan main. Suara itu berdengung memenuhi gendang telinga. Perlahan dirinya memaksakan duduk dengan badan lemas.

Amara membuka laci dekat ranjang, panik. Tangannya bergetar mencari sesuatu dalam laci. Dia butuh obat penenang!

Tidak ada, botol kecil berisi pil itu tidak ada ditempat biasa Amara simpan. Amara yakin botol itu kemarin masih ada.

Jane!

Amara menyibak selimutnya. Membuat kain lembut itu mendarat dilantai yang dingin. Tanpa alas kaki, Amara keluar kamar dengan wajah pucat. Gadis itu menekan dadanya, berusaha meredakan nafasnya yang beradu dengan dinginnya malam. Jam berapa ini? Berapa lama ia tertidur?

Amara berhenti sebentar. Mengatur nafasnya yang semakin sesak. Amara menahan tubuh bergetarnya ke dinding. Berjalan susah payah menyeret kedua tungkai kakinya yang lemas. Kenapa lorong mansion bisa sepanjang ini?! Jane masih ada didapur. Samar, Amara mendengar suara derum mobil. Pandangannya mengabur, seseorang masuk dari pintu utama. Amara terus berjalan, mengabaikan sosok yang menatapnya lekat tidak bergerak. Yang dia butuhkan hanyalah obat penenang!! Tolonglah!

"Astaga Nona." Tubuh limbungnya ditangkap Harry. Gadis itu jatuh terduduk. Teriakan pria itu sampai pada penghuni mansion lainnya. Samar-samar dia mendengar derap kaki seseorang, Jane berlari tergesa-gesa dari dapur dengan wajah khawatir. Mata wanita itu berair.

Amara mencengkram seragam pelayan wanita itu erat. Mendesis dengan iris berkilat pedih, "Berikan!"

Jane sontak menggeleng. Matanya basah. Jika terus mengonsumsi pil tersebut tidak baik untuk Amara sendiri, "Nona-"

"Cepat panggilkan dokter istana!"

Pelayan yang ada disana mengangguk, serta berlari terpogoh-pogoh memanggil dokter istana.

"Ambilkan alat pernafasan! Cepat!"

Suasana riuh. Jane terus memanggil namanya, Harry yang mengguncang tubuhnya untuk menjaga kesadaran gadis itu. Tatapan Amara meredup, kilatan matanya menghilang. Kosong. Melirik kearah sosok yang berdiri didepan pintu, Amara terlanjur menutup mata.

Ah. Bahkan melihat anaknya yang nyaris mati saja sama sekali tidak menggerakan hatinya sedikitpun. Pandangan pria itu dingin. Tidak ada rasa iba didalamnya. Tangannya terkepal, mencengkram angin. Bahkan ketika alat pernafasan dipasang diarea mulut gadis itu, dan saat Harry menggendong tubuh mungil itu kekamarnya.

Carlson sama sekali tidak bergerak untuk menolongnya.

***

Tiga hari.

Amara merasa terpenjara dalam istana selama tiga hari. Jane tidak mengizinkannya sekolah, bahkan untuk keluar mansion saja, Jane melarang bahkan Harry juga sama. Dan tiga hari itu hanya diisi dengan membaca komik-makan-tidur-baca komik-makan-tidur-main handphone.

Hidupnya sudah benar-benar terpenjara sekarang. Orang itu, si Carlson bahkan tidak mengunjunginya untuk sekadar menanyakan kabar.

Yah, tidak heran sih. Amara juga tidak peduli. Toh makin hari, rasa mendambakan yang dia impikan makin terkikis.

"Nona, saya membawa cemilan."

Pintu kamar terbuka. Amara yang tengah mendengarkan musik dengan earphonenya menoleh. Gadis itu tengkurap diatas kasur, membuka media sosial untuk menghilangkan jenuh.

Jane masuk dengan tersenyum. "Sepertinya anda tidak terlalu bosan hari ini." Nampan diatas tangannya tersimpan dimeja. Amara berdiri, duduk disofa dengan dengkusan lirih. "Aku sedang berusaha untuk mencari hal yang menyenangkan Jane."

Jane menuangkan teh ke cangkirnya, memberikannya kearah Nona yang sedang melahap camilan. "Kapan aku bisa sekolah kembali?"

Jane terdiam. Tersenyum meringis. "Bukankah lebih baik jika anda lebih lama berada dimansion? Setidaknya sampai kondisi anda cukup membaik."

"Dan kapan aku akan membaik, Jane? Jika pria yang membuat psikis ku dalam keadaan seperti ini tinggal seatap denganku, tentunya sampai kapanpun aku tak kan pernah membaik."

Amara menghela nafas lesu. Menyandarkan tubuhnya pada sofa dengan kedua tangan terlipat sebal. "Sampai kapan aku tidak boleh keluar? Aku harus sekolah."

"Tentu saja anda akan kembali sekolah. Selain itu, nona, ada hal yang lebih penting," Jemari Jane menyentuh plester di tangannya. Matanya menyorot sedih. "Seharusnya saya bisa lebih baik lagi dalam menjaga anda. Seharusnya saya lebih mengerti keadaan mental anda daripada orang lain. "

Ah.

Manik Amara meredup.

Bahkan Jane yang tidak memiliki hubungan dara dengannya bisa seperhatian ini padanya.

Kenapa ayahnya sendiri tidak?

Amara mengingatnya. Ketika kemarin dirinya seperti orang sekarat meminta obat penenang, Carlson ada disana. Berdiri tidak peduli dengan sekitar.

"Ini... tidak masalah." Amara menempelkan tangannya diatas tangan Jane. Mata Jane memanas, Amara tersenyum lebar "sama sekali tidak masalah."

"Tapi ini kesalahan saya nona."

"Tidak, ini bukan salah siapapun. Ini tidak menyakitkan kok. Jadi, tidak masalah." Pelan-pelan Amara melepaskan tempelan tangannya. Tatapan Jane membiru. Amara terlalu banyak menderita. Cahaya dimatanya meredup bahkan seperti tidak akan kembali lagi lalu menghilang.

"Saya akan menyiapkan makan malam. Apa nona mau memakan makanannya didalam kamar?"

"Tidak, aku akan makan dibawah saja."

***
~To Be Continued~

|KEKIRA|Where stories live. Discover now