Bab 6 : Makan Malam Neraka

18 12 3
                                    

Keajaiban.

Amara berjanji akan menandai hari ini sebagai hari bersejarah. Dia akan membuat pesta tujuh hari tujuh malam, dan jika memungkinkan berterimakasih pada penyakit mentalnya kemarin. Karena, seumur hidupnya sejak ia lahir 15 tahun, baru kali ini Amara merasakan sebuah kebahagiaan terhadap dirinya sendiri.

Gadis itu mulai gelisah meminkan renda piyama tidurnya. Sesekali menyelipkan poni berantakan kebelakang telinga untuk mengusir gugup. Amara mulai menyesal, kenapa tadi dia tidak memakai baju yang lebih imut? Dan juga berdandan lebih cantik?

Padahal sejujurnya, sosok yang membuat dirinya gugup bukan main sedang menyantap makan malam seperti biasa. Seolah tidak menganggap kehadiran Amara sebagai makhluk hidup. Hanya dentingan sendok dan piring serta sesekali lirikan dingin yang tertuju padanya.

Walaupun begitu, itu cukup membuatnya merasa diperhatikan. Amara mencabut kata-katanya mengenai dirinya yang tidak peduli dengan Carlson. Ternyata, sampai saat ini, ketika Amara duduk berhadapan dengan pria itu, Amara masih mengharapkan kasih sayangnya.

"Jane Margareth mengatakan jika kondisimu sudah mulai membaik."

Punggung Amara sontak menegak. Dia mengangguk beberapa kali, dan tersenyum gelagapan.

"Ya. Kondisiku sudah lebih membaik."

"Hm." Hening lagi.

Amara menunduk, mengintip dibalik manik birunya. Carlson kembali memakan makan malamnya. Diam-diam Amara menghembuskan nafas kasar. Apa hanya itu yang ingin ayahnya itu tanyakan? Kenapa tidak seperti 'apa keadaanmu baik-baik saja? Aku berjanji akan selalu menjagamu'

Ugh.

Amara tertawa dalam hati.

Itu mustahil.

"Harry mengatakan mulai besok kau akan selalu dijaga ketat oleh pengawalmu itu." Amara mendongak.

Apa maksudnya Liam?

"Aku selesai." Sebelum Amara sempat untuk berbicara lebih lanjut, Carlson berdiri, melirik piring pria itu yang masih tersisa banyak. Bahkan makanannya saja belum habis! Apa sebegitu muaknya Carlson melihat wajah anaknya sendiri?

"Papa, tunggu!"

Bagus. Apa yang baru saja ia katakan? Papa?

Amara tidak yakin dengan reaksi Carlson. Pria itu berhenti tepat ditengah ruangan. Amara berdiri , berlari kecil kearahnya. Gadis itu menarik kecil ujung pakaian Duke Edinburg. Alisnya berkedut bimbang, kepalanya tertunduk. Carlson berbalik, Amara sama sekali tak berani mendongak.

"Bisakah malam ini kau tidur denganku?" Amara menelan ludah. Mencengkram pakaian Carlson ditangannya, tidak ada respon. Amara melanjutkan. "Aku sedikit takut, tapi hanya sebentar saja. Setidaknya sampai aku tertidur."Amara mengintip pelan. Masih tidak ada respon. Apa Carlson akan menolaknya? "Bolehkah.. Pa.." Amara memberanikan diri, kepalanya mendongak keatas, menatap Carlson dari bawah. Tubuhnya menegang. "..pa?"

Carlson hanya menatapnya dingin. Lebih dingin daripada sebelumnya, wajahnya mengeras. Hanya ada kemarahan didalam matanya yang berkilat seperti predator. Pria itu menunduk, menatap mata Amara dengan tatapan menusuk. "Siapa yang kau panggil papa?"

Orang ini-

Amara menegang. Perlahan, tangannya melepaskan ujung pakaian Carlson, kepalanya menunduk lebih bawah lagi. Tubuhnya bergetar merasakan aura mencekam dari sosok didepannya. Amara memejamkan matanya. Ketakutan.

Orang ini- bukan ayahnya!

Sejak awal Carlson bukan ayahnya!

"Seharusnya kau tau dimana batasanmu, makhluk rendahan! Hanya karena kau penerusku, aku harus mengurus hal-hal tidak penting yang bersangkutan denganmu." Amara menahan nafas. Tubuhnya berkeringat dingin. Carlson menatapnya, seolah ingin membunuhnya dengan kedua tangannya sendiri. "Jika kau muncul kembali dihadapanku, aku pasti akan.." Amara menelan ludah. Nyaris mati berdiri mendengar kelanjutannya, "menghabisimu saat itu juga."

|KEKIRA|Where stories live. Discover now