Bab 3 : Number One

24 14 0
                                    

 Bel istirahat berdering. Sukses membuat murid-murid yang sedang berkutat dengan buku pelajaran mendesah lega diam-diam. Setelah guru menutup perjumpaan, gadis-gadis bersirobok berusaha mendekati meja Amara.

Bukannya apa, alasannya karena makhluk yang duduk disebelahnya, tempat duduk mereka yang berdampingan hanya menyisakan jarak beberapa cm.

"Astaga, ternyata kau lebih tampan daripada fotomu Liam. Bolehkah aku mendapat tanda tanganmu?"

"Aku! Aku juga! Berikan tanda tanganmu."

Astaga.

Berisik sekali.

Sudah hari ke-2 Liam menjadi murid baru di sekolah ini, tapi keadaan kelasnya sama sekali tidak menunjukan tanda-tanda kedamaian.

Amara berdiri jengah, menimbulkan suara gesekan meja dengan lantai yang sempat mengalihkan perhatian para gadis dan pemuda berambut biru itu.

Liam menopang dagu memperhatikan gerakan Amara yang melangkah pergi, tampak tak nyaman dengan kebisingan yang dibuat para gadis. Pemuda bersurai biru itu menopang dagu, menarik senyum simpul.

***

"Jadi, benarkah Liam orangnya? Yang berebut buku denganmu?"

"Hm." Amara mengangguk sekali. Berjalan beriringan dengan Thalia menuju kantin. Kedua gadis itu baru saja keluar dari ruang guru dikarenakan beberapa keperluan.

Dan kini sedang membahas Liam, pemuda yang menjadi top one selama dua hari berturut-turut. Mengingat kejadian buku-nya, Amara mencebik kesal. "Aku tidak suka padanya."

Thalia tertawa kecil menanggapi. "Ayolah, jangan mengatakan hal seperti itu. Semua orang menyukainya. Liam tampan dan populer, dia juga menyenangkan."

"Tidak menyenangkan bagiku."

Langkah mereka berdua memasuki area kantin. Amara hendak berjalan pergi ke meja paling pojok, tempat biasa mereka berdua menghabiskan makan siang. Namun, sebelum langkah pertama, gadis itu terdiam. Berdecak.

"Kenapa dia duduk disana?"

Thalia yang berdiri disebelahnya meringis pelan, "Kurasa kita harus mencari meja lain."

"Tidak." Amara melipat tangan. Kantin sedang penuh. Pasti sama dengan lantai satu. Amara tidak mau pergi ke lantai tiga, disana tempat ular bermata hijau.

Lebih baik merebut kembali tempat duduknya daripada pergi ke kantin lain.

"Hei," Amara berjalan menuju meja Liam. Kehadirannya menjadi bayangan sejenak saat gerombolan gadis, sekitar lima gadis duduk disamping kanan-kiri Liam. Memasang wajah paling imut berusaha menarik perhatian Liam, meskipun pemuda itu tampak tidak memedulikan keberadaan mereka.

"Ini tempat duduk milikku."

"Benarkah? Aku tidak melihat tanda apapun yang mengatakan meja ini milikmu," Liam, pemuda itu menopang dagu, tersenyum miring. "Atau karena kau seorang nona bangsawan, kau seenaknya mengklaim hak milik orang lain?"

"Apa?" Amara berdecak. Melihat senyuman cowok itu membuat ingatan Amara terlempar pada kejadian buku. "Kau bercanda? Apa menurutmu aku orang semacam itu?"

"Tidak." Liam bersandar pada kursi. Membuat bentuk persegi dengan jarinya yang ditempelkan seolah tengah memotret Amara yang berdiri memperhatikan, "menurutku kau adalah gadis yang paling menarik."

Liam melanjutkan, "kau bisa memiliki segalanya, tapi tidak ada satupun yang akan menjadi milikmu."

"Kenapa kau begitu yakin? Tak ada satupun yang akan menjadi milikku, katamu?"

|KEKIRA|Where stories live. Discover now