Bab 7 : Garis Tangan

20 11 24
                                    

Amara mengerjapkan matanya. Tubuhnya bergerak gelisah. Berbalik kekanan memeriksa jam beker diatas laci. Pukul 04.07, tidak biasanya gadis itu bangun sepagi ini.

Pelan, Amara duduk. Bersandar dengan kepala mendongak kearah langit-langit kamar. Tangannya masih gemetar sejak bangun tadi.

Barusan, dia mimpi apa?

"Ah," Amara mengelap keringat didahinya. "tadi aku mimpi dibunuh ayah."

Amara merapatkan tubuhnya, memeluk dirinya sendiri erat. Teringat akan perkataan ayahnya tiga hari yang lalu. Setiap malam Amara selalu bermimpi buruk. Atau terakhir kali tidak sengaja berpapasan dengan Carlson, bahkan hanya sekali lewat saat ia mencoba mengambil makanan ringan diluar, Amara hanya bisa berdiri mematung. Tidak berani mendekat.

Mungkin itu alasan Carlson lebih menyukai Heinly anak yang hanya memiliki fisik yang mirip dengannya, daripada putri kandungnya yang sangat mirip dengan istrinya.

"Tidak tau diri." Amara memaki dirinya. Meskipun Carlson jarang pulang, bahkan dalam sebulan masih bisa dihitung jari, tetap saja dendam pria itu selalu tumbuh setiap hari, mungkin lebih besar sampai bisa membunuh Amara dengan kedua tangannya.

Menyeramkan.

Amara menoleh kearah jendela yang terhubung dengan balkon kamar. Gadis itu perlahan turun, sengaja tidak memakai sandal rumah, sehingga lantai dingin menyentuh kakinya.

Dengan piyama putih, Amara memutar kunci balkon. Dia menopang dagu diatas pembatas balkon. Udara dingin menerpanya, tapi dibiarkan oleh gadis itu. Rambut hitamnya berterbangan. Entah sejak kapan, berdiri memandang langit adalah kebiasaannya.

Setiap malam, Jane selalu mengingatkannya untuk menutup setiap jendela termasuk balkon. Walaupun terkadang Amara lupa menutupnya. Lagipula tidak akan yang-

"Anda bangun pagi sekali, nona."

Ah.

Berkedip. Amara menoleh kesamping. Tepat pada pohon rindang yang berdiri kokoh, menatap mata abu jernis itu. Gadis itu menarik nafas, memegang jantungnya yang terasa berhenti berdetak. "Kau mau mati?"

"Apakah saya mengejutkan anda, nona?" Liam tersenyum jahil.

"Kau nyaris membuatku melemparmu dari lantai dua."

"Kalau begitu apakah aku harus berterimakasih, nona?"

Amara mendengus. Sosok itu turun dari pohon dan melompat pada balkon kamarnya. Sialnya dia mendarat sempurna, padahal Amara berniat tertawa paling kencang jika saja Liam mendarat ditanah.

"Jangan berharap aku terjatuh dari lantai dua dan kau tertawa bahagia."

"Berisik, aku tidak akan melakukannya." Amara memuar bola matanya. Mengacuhkan keberadaan pemuda itu. Gadis itu menoleh kearah lain, apapun asal jangan melihat wajah menyebalkan Liam.

"Apa anda mimpi buruk?"

"Tidak."

Liam bertumpu diatas pembatas, sama seperti Amara. "Ah, anda pasti bermimpi jika Tuan Duke membunuh anda. Kali ini dengan apa? Pisau atau senapan?"

Amara meneguk ludah. "Digantung." Dirinya berusaha mengenyahkan ketakutan saat bergumam parau. "Aku bermimpi, aku dieksekusi mati."

"Oh, menyeramkan." Liam menaikan alisnya.

Sedetik kemudian raut wajah Liam tak terbaca. Liam mengepalkan tangan diam-diam. Entah mengapa Liam merasa mereka menjadi sedikit akrab hingga ia dan Amara bisa menceritakan semua kerisauan Amara pada Liam kemarin. Sejak kejadian kemarin, mereka berdua terlihat menjadi sedikit-sangat sedikit-akrab.

|KEKIRA|Where stories live. Discover now