Bab 4 : Seperti Sampah

25 13 0
                                    

"Aku mengerti kenapa Riddle bisa bersamamu, tapi kenapa-" Thalia mengacungkan jarinya pada pemuda bertampang datar disebelah Amara. "ada Liam?!"

Amara menghembuskan nafas.

Dia juga ingin tahu kenapa Liam bisa ikut. Kira-kira kejadiannya seperti ini.

20 menit yang lalu~

"Harry, apa kau gila?!"

Seruan Amara sontak membuat Harry terkejut. Sama halnya dengan Riddle yang mengkerut tak suka dengan kehadiran Liam, Amara lebih tidak suka dengan kehadiran lelaki itu. Melihat matanya sudah membuat Amara ingin mencoloknya.

"Ehm, itu..." Harry terbata gelisah. Tidak menyangka penolakan keras karena diberikan pengawal. Harry berdehem singkat, "Sebenarnya Liam sudah menjadi pengawal anda tanpa sepengetahuan anda, saya menugaskannya secara langsung."

"Tapi dia model kan? Itu sudah merepotkan baginya." Amara menggeleng.

"Jangan khawatir tentang itu. Sebenarnya menjadi model adalah pekerjaan untuk menutupi identitas asli saya." Liam, pemuda itu maju selangkah. Menyunggingkan senyum menawan yang memusatkan dunia padanya, "sejak awal, kepindahan sekolah adalah bagian dari misi saya melindungi anda. Agar saya bisa terus mengawasi anda dari dekat. Nona."

Athanasia mendesis geram. Gadis itu menyipit tidak suka.

Lagipula,

"Tidak. Aku tidak perlu pengawal pribadi atau semacamnya."

Apa bedanya mendapat pengawal atau tidak?

"Tapi Nona, akan berbahaya jika anda pergi keluar tanpa pengawalan. Saya tidak bisa terus menerus berada disamping anda setiap waktu. Bagaimana jika ada banyak musuh yang-"

"Kubilang tidak perlu!" Amara mendongakkan kepala, menatap lurus dengan iris meredup. "Sekalipun aku mati, itu tidak masalahkan." Gadis itu mengepalkan tangan. Menjerit-jerit dalam hati.

Amara menunduk lagi, lebih dalam. "Tidak ada yang berbeda. Jadi, tidak perlu."

Harry tersentak. Pria itu bergeming saat pupilnya menangkap sirat kesedihan mendalam yang melekat pada Amara.

"Itu tidak benar," Liam menyorot lurus, pemuda itu maju dua langkah. Berhenti tapat lima senti didepan gadis itu. Amara menunduk. "Semua orang bergantung pada anda. Bagi para bangsawan disini anda adalah matahari. Bukankah begitu, Tuan Kreuz?"

Iris kelabu Liam bergeser, tersenyum penuh makna.

"Itu benar, Nona." Riddle tersenyum tipis menenangkan. Walaupun kurang suka keberadaan Liam yang dianggap sebagai penghalang. Amara enggan menoleh, gadis itu mengalihkan pandangan.

"Saya sangat bahagia saat mendapat tugas sebagai pengawal anda." Liam tersenyum sampai irisnya menyipit. Senyuman yang lebih mirip seringaian itu cukup membuat Riddle paham tatapan pemuda itu pada Amara.

Liam juga... tertarik pada malaikatnya.

"Saya berjanji akan melindungi anda. Dengan raga dan nyawa saya." Tangan Liam terurai, Amara termenung saat merasakan tangan kanannya terangkat. Pemuda itu menunduk, mengecup tangannya cukup lama. "Jadi, karena itu.... tolong miliki saya untuk anda."

Amara berkedip. Gadis itu menunduk dengan iris bergetar. "Kau..."

"Ya? Saya?"

"Dasar cowo bebal!!!!" Pukulan mendarat pada kening pemuda itu. Liam mundur terkejut, baru pertama kali mendapat pukulan tidak terduga dari seorang gadis. "Kau pikir apa-apaan sikapmu mencium tanganku seenaknya!" Amara berseru kesal.

|KEKIRA|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang