18. Massimo Dutti

Start from the beginning
                                        

"Saya kan juga, Mas," kataku.

"Kamu beda. Saya nggak suka kerja sama Bu Rita, terlalu menjilat. Hasil kerjanya juga nggak sebaik itu," kata Mas Bagas. Aku hanya mengangguk saja. "Ya pokoknya kamu approach si Arga ya. Dia tuh masih bingung mau gabung di sini atau enggak. Malah betah di MI yang kebanyakan karyawan tua. Padahal saya sudah bilang kalau di Next banyak yang cantik-cantik, dia bisa sekalian cari istri di sini. Eh malah nggak percaya. Dia itu sudah lama di Singapura, terus baru 4 bulan ke Jakarta, ke perusahaan Papa. Nah, Ne, kan kamu good looking nih, kamu bisa dong bantu saya bujuk dia? Saya kasih 1 weekend saya buat dihubungin kamu perihal persiapan promosi deh," tawar Mas Bagas disertai kekehan.

Kalau saja aku tidak sedang bahagia pagi ini, aku ingin mendebat Mas Bagas. Jalur orang dalam memang nyata adanya. Bahkan orang yang kupikir tidak akan melakukan itu, Mas Bagas justru terang-terangan memintanya padaku untuk ikut serta. Kalau sudah begini, aku harus apa? Pasti nanti orang-orang di divisi finance akan menodongku dengan pertanyaan, kemudian menyalahiku yang merekrut tanpa ada sounding ke para department head di sana, terlebih Bu Rita yang akhir-akhir ini selalu mendekatiku untuk menanyakan promosi.

"Okedeh, Mas. Saya coba ya. Kirim contact dan CV-nya ke saya saja ya. Nanti saya coba approach. Tapi Mas Bagas juga jangan berhenti approach dia ya. Oh berarti saya juga harus tahu dong, Mas, angka yang Mas Bagas offer ke dia? Nggak apa-apa ini Mas?" tanyaku memastikan.

"Ya nggak apa-apa. Toh biasanya juga kamu tahu. Jangan lewat April tapi ya, nanti dia kejang-kejang tahu angka yang saya tawarin ke Arga. Bisa marah-marah nanti dia kalau tahu kita mesti spare anggaran lebih. Hahaha. Pokoknya bilang saja ke dia, Arga ini kamu yang urus. Mandat dari saya."

"Baik, Mas. Saya mau make sure saja. Saya pikir kan karena ini lewat jalur Mas, saya nggak bisa tahu angkanya. Hehehe."

"Nggak kok. Susah, cari orang yang bisa saya percaya untuk pegang kendali keuangan perusahaan. Makanya saya ingin Arga, orang yang sudah saya percaya dan yakin mampu."

***

Sisa hari kujalani dengan riang gembira. Mendapat hadiah istimewa dari Genta dan Mas Bagas di pagi hari tadi membuatku semangat menjalani hari. Sore tadi, Tante Rinda menyuruhku dan Genta untuk bertandang ke rumah. Ia sudah memasakkan tumpeng untuk merayakan ulang tahunku. Seharusnya weekend kemarin, namun aku dan Genta menolak karena kami lebih memilih pergi bersama Helmi dan Batara.

Genta mengatakan akan menjemputku pukul 6. Namun karena desakan pekerjaan, ia tidak bisa on time, sehingga pukul setengah 7 malam ia baru sampai ke kantorku. Setelah mendapatkan pesan dari Genta, aku langsung mengemasi barang bawaanku. Tak lupa, aku membawa serta dus hadiah dari Genta tadi. Kantor sudah sepi, ruang HR hanya tinggal aku seorang. Dengan langkah terburu karena takut, aku menuju lift untuk ke parkiran mobil yang terletak di basement. Untung aku bertemu dengan Gayatri di lift. Perempuan itu juga hendak pulang dan menuju basement. Hanya perbincangan ringan di antara kami hingga akhirnya kami sampai di B2.

Tak sulit bagiku menemukan mobil Genta yang terparkir tak jauh dari pintu basement. Ternyata ia parkir berhadapan tepat dengan mobil Gayatri. "Dijemput pak suami ya?" tanya Gayatri melihat mobil Genta yang menyala saat kami berdiri di depan kendaraan masing-masing.

"Iyanih. By the way, sebelum gue lupa, kemarin gue ngomong ke Pak—" kalimatku menggantung karena kulihat Genta yang turun dari kursi kemudi dan menghampiriku.

"Hai," sapa Genta pada kami.

"Eh halo mas suaminya Ane," balas Gayatri. Gayatri sudah pernah bertemu Genta saat resepsi pernikahan kami.

Aku sedikit risi saat tiba-tiba tangan Genta mencengkeram pinggulku dengan tubuhnya yang mengimpit bagian belakang tubuhku. Posisi Genta seakan memelukku dari belakang. "Yaudah lanjut besok saja deh di kantor. Gue duluan ya," pamitku pada Gayatri.

"Oh oke. Hati-hati yaa. Yuk Ne, Mas," pamit Gayatri kemudian membuka kunci mobilnya. Sementara Genta menggiringku ke kursi penumpang tanpa melepaskan posisinya.

"Kenapa lo?" bisikku mencoba mengesampingkan tangannya dari pinggulku.

"Lo mens?" tembaknya yang membuat mataku terbelalak.

"Engg.. nggak sih. Nggak tahu. Bocor ya?!" cicitku.

"Kebiasaan lo ya. Bocor," katanya.

Deg. Astaga! Wajahku pucat seketika. Sejak kapan? Perasaan tadi sore aku ke toilet belum mendapati apa pun kok? Astaga! Aku kan pakai celana putih. Pasti sangat kontras. Aduh bagaimana ini?

"B-banyak?"

Tin!

Suara klakson mobil Gayatri mengalihkan perhatian. Lambaian tangan kami berikan, kemudian kami meneruskan perbincangan. "Nggak sih, tapi kelihatan aja karena celana lo putih," jujur Genta.

"Shit.. gimana dong? Aduh gue nggak bawa ganti," kataku panik.

"Yaudah sih, kan kita mau ke rumah lo. Nanti langsung ganti baju aja di sana. Lo kan ada baju di kamar lo," kata Genta.

"Iyasih. Aduh tapi berarti tadi orang-orang pada lihatin gue dong? Ah Genta, gimana inii?"

"Ya memang tadi rame pas lo turun?"

"Nggak sih, udah sepi. Cuma tetap aja, kalau ada yang ngeh kan malu," kataku.

"Ck. Yaudah paling juga besok lupa. Ayo buruan jalan. Udah ditunggu Tante Rinda tuh," kata Genta seraya membukakan pintu mobil untukku.

"Eh Ta, jok lo. Ada tatakan nggak?" tanyaku sebelum aku duduk.

"Nggak ada. Lo nggak punya apa gitu? Tas lo?"

"Enak aja tas gue. Aduh lo nggak ada kertas apa gitu?" tanyaku.

"Enggak. Yakali pakai kertas kerjaan gue," ujarnya. Genta terlihat berpikir sejenak kemudian ia membuka pintu belakang mobilnya dan menyodorkanku jas hitam yang tergantung.

"Nih, pakai ini aja," kata Genta.

"Eh enggak lah! Sayang banget jas lo," tolakku. Yang benar saja menggunakan jas Genta.

Genta menggaruk kepalanya, kemudian ia ke sisi kemudi dan masuk ke dalam mobilnya, meninggalkanku yang masih berdiri termangu. Kulihat Genta tengah mencopoti kancing kemeja putihnya kemudian menarik lepas kemejanya untuk ia taruh di jok penumpang. "Udah pakai ini aja," kata Genta yang kini hanya mengenakan kaos dalam.

"Ta! Sayang banget ini kan kemeja putih," kataku mencoba menolak.

"Daripada pakai jas 5 juta gue? Kemeja putih gue masih banyak. Buruan naik." Tanpa penolakan lagi, aku naik dan duduk di atas jok yang dilapisi kemeja putih Genta. Rasanya sayang harus duduk di atas kemeja putih Genta. Baiklah besok akan kucuci dan ganti baru.

***

"Kita langsung ke kamar lo aja ya," kata Genta sesaat sebelum turun.

"Oke," balasku. Genta lebih dulu turun, disusul aku. Tak lupa, kuambil kemeja putih yang kujadikan sebagai tatakan duduk tadi. Aku harus mencucinya dan mengganti dengan yang baru. Di tengah keremangan cahaya malam di garasi rumah orang tuaku, hanya ada cahaya dari lampu mobil yang nyala karena pintu terbuka, betapa terkejutnya aku melihat tag di kemeja putih Genta yang kugunakan sebagai tatakan tadi. Hatiku meringis membaca merek yang tertera apik di tag tersebut.

Massimo Dutti

***

Sebel nggak sih sama sifat Genta yang menggeneralisasi bos itu harus naik mobil? Aku sih sebel. Ditunggu saran-sarannya, jangan lupa vote yaa biar bisa nyamain Let it Pass :p

Aku balik lagi kalau udah di atas 500 ya.

The Only Exception [END]Where stories live. Discover now