31. Mengambil Hati Sang Aphrodite

69.7K 6K 638
                                    

Barisan para tamu tak kunjung berkurang. Mereka silih berganti naik ke pelaminan untuk menyalami pengantin. Hardi memang pejabat eselon 1 di instansinya, tak heran bila tamunya sangat banyak. Ane berdiri dengan anggun berdampingan dengan Genta. Mereka serasi mengenakan setelan adat Jawa Tengah sembari menyalami tamu-tamu yang baru memasuki ballroom.

"Ane!" sapa seorang pria yang hadir bersamaan dengan perempuan cantik, Arga dan Mika.

"Duh ditungguin juga," balas Ane. Tanpa pamit lebih dahulu, Ane langsung melenggang meninggalkan Genta sendiri di barisan penerima tamu.

"Wah hebat, suaminya ditinggal gitu aja ya Bu?" komentar Arga saat Ane menggiring mereka menjauh.

"Mana cincin gue?" tagih Ane tanpa merespons pembicaraan sebelumnya. Pria itu mengeluarkan cincin emas putih dengan mata berlian dari saku kemeja batiknya. "Untung belum lo jual," ujar Ane.

"Eits.. sorry, duit gue udah banyak. Nggak level jual cincin gituan," jawab Arga dengan jumawa sementara Ane hanya memutar matanya.

"Pak Bagas dateng?" tanya Mika.

"Nggak mungkinlah. Gue juga ngasih undangan ke dia cuma formalitas doang," jawab Ane. Hubungan Ane dan Bagas memang dekat, namun hanya sebatas rekan kerja. Untuk datang ke acara pernikahan adik Ane, agaknya Bagas tidak punya waktu untuk datang. Datang ke acara pernikahan kolega Next saja, Bagas sangat jarang. Kalaupun Bagas nanti datang, ia akan menjadi tamu VIP yang hanya datang untuk menyalami pengantin, mengobrol lima menit dengan Ane, kemudian pulang tanpa makan. Seperti Bagas bila menghadiri resepsi pernikahan.

"Ya udah lah sana. Temenin itu pak suami," usir Arga pada Ane yang mengikuti mereka berdua.

"Dasar lo. Bilang aja biar gue nggak jadi nyamuk kalian. Lo tuh, Ga, kalau mau PDKT jangan tanggung-tanggung. Masa besok Mika balik ke Bandung naik kereta sih? Nggak mau nganterin Mika apa? Yaudahlah sana. Hati-hati loh Mik sama buaya," cibir Ane. Mika dan Ane terpaksa harus kembali ke Bandung naik kereta besok siang karena Arga yang tak bisa mengantar lantaran ada acara keluarga.

Sepeninggal Arga dan Mika, Ane berniat kembali ke barisan. Namun ia mengurungkan saat ia melihat Bagas baru saja berjalan dari arah meja penerima tamu. Mata mereka bertemu pandang, kemudian Bagas yang datang seorang diri itu menghampiri Ane.

"Macet banget Pancoran," ujar Bagas pada Ane.

"Mas Bagas, yaampun saya pikir Mas Bagas nggak hadir loh," ujar Ane salah tingkah.

"Ck. Lagi senggang aja waktu saya, jadi hadirlah buat kamu. Masa udah diundang Ane, saya tolak sih?" jawabnya dengan tawa. "Kamu memang ada keturunan Jawa ya Ne?" tanya Bagas yang melihat riasan Ane dengan adat Jawa Tengah.

"Mas Bagas selama ini nggak sadar kalau saya Jawa?"

"Sama sekali enggak. Saya pikir kamu Manado," kekehnya.

"Saya malah nggak ada darah Manado sama sekali loh," jawab Ane. "Mas, mau langsung salaman? Saya antar. Tamu VIP harus didahulukan," lanjutnya.

"Bolehlah. Jangan tinggalin saya loh Ne, saya malu datang sendiri," jawab Bagas pelan.

"Beres Mas," ujar Ane. Mereka berdua berjalan menuju pelaminan setelah sebelumnya Ane berbisik pada crew dari WO untuk memberi akses pada Bagaskara Mahendra.

***

Acara sudah selesai dari 2 jam yang lalu. Setelah bercengkerama dengan keluarga besar yang tersisa hingga akhir acara, Ane dan Genta kembali ke kamar hotel.

"Kondenya besok pagi balikin ke kamar Mama ya, Ne. Sekalian bajunya Genta juga. Mau diambil sama paesnya," ujar Tante Rinda.

"Iya Tan. Daah," jawab Ane sebelum menutup kamar. Di sinilah Ane dan Genta berada, di sebuah kamar hotel dengan satu ranjang dan satu sofa. Keduanya irit bicara, tidak secair dulu. Keramaian hari ini langsung terganti dengan hening dan suasana dingin di antara mereka.

The Only Exception [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang