7. Tuntasnya Sebuah Janji

34.1K 3.9K 24
                                    

Aku sedang memoles wajahku dengan makeup sederhana saat Genta tengah duduk bersandar di atas kasur sembari memainkan ponselnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku sedang memoles wajahku dengan makeup sederhana saat Genta tengah duduk bersandar di atas kasur sembari memainkan ponselnya. TV kami biarkan menyala dan menyiarkan NatGeo yang sebenarnya tidak ditonton oleh kami. Biarlah, daripada kecanggungan makin terasa. Malam pertama kami terlewat dengan sangat memuaskan hingga kami terlambat bangun. Tidur di saat badan rasanya remuk redam tanpa gangguan alarm sungguh membahagiakan. Ponsel sepakat kami matikan agar tak ada gangguan suara atau getar yang dapat membangunkan tidur pulas kami. Alhasil kami baru bangun sekitar pukul 11 siang. Ada spare waktu 4 jam sebelum check out nanti.

Rasanya agak menyesal saat aku melewatkan breakfast di hotel. Padahal kami dapat breakfast spesial yang sepaket dengan kamar ini. Tapi yasudahlah, sudah terlewat, akhirnya kami memutuskan untuk makan di restoran hotel ini untuk mengisi perut kami yang sudah keroncongan sejak tadi.

"Ta," panggilku sembari melukis alis.

"Yow?"

"Berarti kita tinggal di apartemen gue sampai akhir Oktober ya? Rumahnya udah bisa ditempatin kapan?" tanyaku. Aku harus memastikan kapan kami bisa pindahan. Sewa apartemenku akan habis di 31 Oktober ini, sehingga jangan sampai aku sudah tak memperpanjang tetapi rumah yang Genta beli ternyata belum siap huni.

"Sebenarnya udah bisa sih Ne pindahan dari sekarang. Cuma kan kamar lo, kitchen set, sama studio gue belum jadi. Lo sih pakai banyak mau. Jadi makin lama cuma buat kamar lo," ujar Genta.

"Pamrih banget sih lo," cibirku.

Genta memutuskan untuk membeli rumah jadi di daerah Tangerang Selatan. Jarak antara lokasi rumah dan kantor, kami rasa tidak terlalu jauh. Sebenarnya lebih enak bagi Genta yang membawa kendaraan mobil, ia hanya perlu masuk jalan tol dan cukup butuh 20 menitan untuk sampai ke kantornya. Sementara aku belum memiliki kendaraan pribadi. Sehingga commuter line dan MRT akan jadi sahabatku nanti. Genta mana mau mengantar jemputku ke kantor.

Rumah yang kami beli ternyata rumah pilihan Karen. Dulu mereka membuat wacana membeli rumah tersebut. Karen jatuh cinta pada cluster dengan rumah modern khas drama-drama Korea yang sering ia tonton. Memang ukurannya tidak besar dan bukan rumah mewah, namun saat aku dan Genta datang mengecek lokasinya, aku juga langsung jatuh cinta dengan rumah yang—kini sudah—Genta beli. Rumah modern dengan nuansa kayu coklat, bebatuan abu-abu, tanpa pagar, dengan pengaman kunci otomatis yang dapat dibuka dengan kode, dan yang terpenting lingkungan yang tak terlalu ramai. Semuanya cukup membuatku dan Genta jatuh cinta pada hunian tersebut. Rumah yang terdiri dari 2 lantai dan 1 rooftop di atasnya, pasti akan nyaman bila kami tinggali.

Kami sepakat untuk tinggal di rumah itu selama menjalani pernikahan ini. Rumah itu Genta beli meski belum selesai pencicilannya. Sedangkan aku? Haha. Aku tidak ikut menyumbang apa pun dalam pembelian rumah itu. Genta melarangku karena katanya aku sudah terlalu banyak membantu dia. Toh rumah itu kelak menjadi tempat tinggal Genta pribadi saat nanti kami sudah mengakhiri pernikahan. Meski sisi independent aku sedikit terkoyak, tapi aku bisa apa? Aku harus mulai mempersiapkan pembelian properti. Setelah berpisah dengan Genta nanti, aku tidak mau kembali ke rumah orang tua. Mungkin apartemen menjadi pilihanku lagi. Namun kali ini bukan sekadar menyewa, tapi harus memiliki.

The Only Exception [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang