Epilogue

99K 6.2K 568
                                    

"Aku nggak mau kamu dateng-dateng ke kantor lagi," ucap Ane dengan melipat tangannya di depan.

"Kenapa sih Ne? Kamu takut aku disukain sama temen-temen kantormu? Lagian bukannya enak ya, kamu tiap hari ada yang antar jemput, nemenin lembur—"

"Nggak gitu! Aku risih aja, Ta," jawab Ane jujur.

Genta diam sejenak. Pria itu tetap fokus dengan kemudi untuk memarkirkan mobilnya dengan tepat. Hatinya seperti tercubit. Niat baiknya justru membuat perempuan yang ia cintai merasa risih dan terbebani.

"Ya udah, maaf.." lirih Genta. "Besok-besok aku jemput kamu di basement ya."

"Nggak usah. Aku pingin bawa mobil sendiri, Ta. Buat apa aku beli mobil kalau ujung-ujungnya nggak aku pakai karena tiap hari diantar jemput kamu?" jawab Ane. Mobil Genta sudah terparkir, kemudian perempuan itu langsung turun tanpa menunggu jawaban Genta. Keduanya berjalan masuk ke dalam rumah.

"Kamu yakin nyetir sendiri?" tanya Genta saat menutup pintu ruang tamu. Keduanya berjalan menaiki anak tangga menuju kamar setelah sebelumnya mencopot sepatu dan menaruhnya di rak bawah tangga. Genta tahu bahwa Ane sudah bisa menyetir, ia hanya tak rela melepas Ane bepergian ke kantor sendirian tanpa diantar olehnya. Ane juga tidak pernah membawa mobil ke kantor sebelumnya. Genta takut Ane tidak lancar di jalan menuju kantornya. Semenjak Ane kembali berkantor di Next, Genta tak pernah absen untuk mengantar jemput Ane setiap hari meski perempuan itu sudah membeli mobil baru untuknya.

"Iya. Lagian nggak enak Ta, orang-orang kantor bisa mikir kamu nggak ada kerjaan gara-gara tiap sore jemputin aku di kantor. Kamu seenggak megang proyek gitu emangnya?" ujar Ane saat memasuki kamar mereka.

Genta terbahak sembari menutup pintu kamar. "Ada kok Ne, tenang aja, suami kamu ini banyak megang proyek kok. Cuma udah nemu celahnya aja untuk bisa balik cepet jemput istrinya di kantor."

"Apa? Kamu suruh junior kamu yang ngelembur?"

"Itu salah satunya. Lagian kalau aku nemenin kamu lembur, aku kan juga sambil kerja," bela Genta.

"Ya tapi—"

"Ya udah kalau kamu maunya gitu. Besok bawa mobil sendiri ya. Berani kan?" tanya Genta sembari membuka satu persatu kancing kemeja kerjanya dan membuangnya sembarang di lantai.

"Ta?" panggil Ane.

"Ya?"

Ane tak langsung menjawab. Perempuan itu kemudian mendekati Genta dan meraba dada telanjang Genta. "Eits, kenapa nih?" tanya Genta dengan senyum smirk-nya kemudian menggenggam tangan kecil Ane.

"Apa ini?" tanya Ane kemudian menatap Genta lekat-lekat.

"Bagus nggak?" alih-alih menjawab, Genta justru balik bertanya.

"Kamu kapan buat tato? Duh norak banget sih!" ujar Ane menahan senyumannya. Perempuan itu kemudian memukul-mukul dada Genta dan Genta balas merengkuhnya dalam pelukan.

"Kok kamu nggak ngomong ke aku?" tanya Ane dengan suara teredam.

"Biar surprise. Bagus kan?" bisik Genta.

Ane tak tahan untuk tidak tersenyum. Sebuah tato kecil tepat di dada kanan Genta. Tato tulisan Ariadne dengan huruf sambung membuatnya merona. "Kenapa nama aku?"

"Perlu aku jelasin?" kekeh Genta.

"Perlu lah!" jawab Ane.

"Oke. Tapi sambil mandi ya?" bisik Genta yang sukses membuat pipi Ane semakin panas.

Bagi Genta, meski nama Ariadne sudah terpatri di dalam hatinya, rasanya belum cukup bila nama itu tidak terpatri juga di tubuhnya. Genta memutuskan untuk mengabadikan nama Ane di tubuhnya, tepat di dada bagian organ hatinya berada. Ariadne, perempuan yang sukses membuatnya bertahan pada satu hati. Ariadne, satu-satunya perempuan yang ingin ia bahagiakan sepanjang sisa hidupnya. Ariadne, perempuan yang menjadi pelabuhan terakhir hatinya.

The Only Exception [END]Where stories live. Discover now