21. Malam yang Terjadi Begitu Saja di Antara Kita

42.2K 3.9K 344
                                    

Rabu malam, Genta diizinkan pulang lebih cepat untuk mempersiapkan keberangkatannya besok ke Banyuwangi. Suara petikan gitar mengalun indah disertai suara serak yang sedikit berat dari ruang TV. Ialah Genta yang sedang memainkan lagu Emoji of a Wave milik John 'Tampan' Mayer, begitu Ane selalu menyebutnya. Sesekali ia mengecek ponselnya untuk memantau perkembangan riset dari timnya. Sudah jalan satu minggu ini ia memimpin proyek baru dari klien yang merupakan perusahaan tekstil besar di Tangerang. Memang tidak sebesar proyek yang sudah-sudah, tapi Bu Anjani, salah satu partner di lawfirm-nya, mempercayakan Genta untuk memimpin proyek ini sekaligus membimbing dua junior associate yang baru bergabung satu bulan di B&P.

Beberapa kali sejak rapat pertama proyek tersebut, Sandra—salah seorang junior associate baru—menanyakan perihal risetnya pada Genta. Sejak awal bergabung di B&P, mereka sudah beberapa kali mengobrol bersama. Ada banyak topik bahasan yang dapat mereka jadikan bahan obrolan. Ditambah Sandra selain memiliki paras cantik, ia juga mudah bergaul dan adaptasi di lingkungan B&P, terutama dengan senior laki-laki. Bagaimana tidak, sejak awal bergabung ia sudah dijadikan topik di grup WhatsApp pria-pria di B&P. Genta tentu bahagia saat dipercaya Bu Anjani untuk membimbing Sandra dan Anggi—dua anak baru itu. Hal itu membuat teman-teman prianya menjadi iri dan terus menyorakinya.

Genta tertawa kecil saat menyadari bahwa dirinya banyak dikelilingi perempuan cantik sejak dulu yang membuat Genta makin percaya diri. Ia menyadari bahwa ia good looking, dan menjadi privilege tersendiri baginya untuk bisa menjalin relasi dengan perempuan-perempuan cantik. Tidak sulit baginya untuk memulai percakapan dan berteman dengan perempuan cantik atau orang-orang dari strata atas dalam kehidupan sosial di Jakarta. Mungkin itu juga yang menjadikan Sandra senang untuk berdiskusi dengannya sejak awal masuk. Sayang, cincin emas yang melingkar di jari manisnya membuatnya tak bisa mendekati Sandra atau karyawan cantik di Menara 201 yang kian hari kian bertambah saja jumlahnya.

Setelah menyelesaikan Emoji of a Wave, Genta tak langsung mengganti lagu lain. Ia larut dalam pikirannya, sepertinya ia mulai rindu kehidupannya yang lama. Kehidupannya sebelum semua kekacauan melandanya dan mengubah jalan hidupnya yang sudah ia tata. Genta tak menampik ada sedikit rindu pada mantan tunangannya yang sudah tega meninggalkannya mimpi-mimpi yang pernah mereka bangun. Karen, sudah 8 bulan mereka tak bersua. Semua akses komunikasi sudah Karen putus. Kontak Ane dan Genta masuk list yang Karen blokir. Sudah ratusan pesan ia kirimkan pada Karen, tentu saja melalui email, karena hanya email media yang tidak diblokir oleh Karen. Dulu, setiap minggu—bahkan hampir setiap hari—Genta masih mengirimkan pesan pada Karen. Pesan sekadar bertanya apa kabar, ingin bertemu, atau bicara meluruskan yang lalu. Semua dilakukan Genta tanpa sepengetahuan Ane—mereka sudah berjanji untuk putus kontak dengan Karen. Hingga akhirnya Genta mulai lelah mengirim pesan sejak bulan ke-5 mereka berpisah.

Genta yakin, perasaannya pada Karen tidak sepenuhnya hilang. Ia bersyukur pada pekerjaannya yang semakin banyak saja sejak perpisahan itu terjadi, semua membuat Genta lupa untuk larut dalam patah hatinya. Ia tak menampik bahwa ia munafik. Di hadapan Ane dan semua orang, ia berlagak sudah move on. Nyatanya, rasa rindu akan kehadiran Karen sesekali masih melintas di hatinya. Genta beruntung memiliki Ane, perempuan itu pengalih perhatiannya. Ane membuatnya tak semakin larut dalam bayang-bayang Karen. Namun, ada yang lebih ia butuh dari sekadar Ane. Genta rindu pada kehidupan lamanya. Jiwa prianya tergugah, ada rasa ingin mencintai dan memberi afeksi pada perempuan seperti dulu. Ada rasa ingin dihibur oleh para perempuan. Ada rasa rindu pada sentuhan-sentuhan dari kaum pemilik vagina itu. Dan itu tidak bisa Genta dapatkan semenjak menikah. Ia rindu kebebasan.

Genta kembali teringat tawaran bodoh Ane bulan lalu. Tidak, mencintai Ane bukan pilihan yang baik. Sampai kapan pun, perasaan Genta itu hanya cinta platonis saja. Ia tidak mungkin bisa mengubah itu semua. Meski ia tak menampik bahwa selama tinggal satu atap dengan Ane, Genta harus menahan banyak godaan. Terutama perempuan itu yang—sepertinya—sudah mulai tertarik secara fisik dengan Genta. Genta sadar itu, ia tidak lugu untuk urusan seperti itu. Namun ada hubungan yang harus Genta jaga. Mereka dua manusia dewasa, usianya sudah di atas 25. Tinggal satu atap dengan lawan jenis yang sama-sama memiliki fisik menarik, tentu saja ada hasrat yang terkadang mampir dalam kalbu. Genta tahu perempuan itu tertarik padanya, ia pun demikian. Namun, ada sekat penghalang yang membuat Genta tak bisa melepaskan hasrat dengan Ane: persahabatan yang dibangun lebih dari 20 tahun lamanya. Toh hatinya belum sepenuhnya lepas dari Karen. Genta menganggap mencintai Ane berarti menjadikan perempuan itu pelarian dari Karen. Terlebih, ia akan mengulangi dosa yang sama—mencintai sahabat sendiri—dan bisa menimbulkan ia akan kehilangan sahabat terakhirnya.

The Only Exception [END]Where stories live. Discover now