18. Massimo Dutti

Start from the beginning
                                        

"Yaudah, gue mintol Edgar aja. Kali-kali bisa pedekate lagi," celetukku sembarang.

"Wah kacau. Ane mau selingkuh lo?"

"Lagian, suami nggak bisa diandalkan." Genta tertawa kemudian mengacak rambutku dengan tangan kirinya yang terbebas dari kemudi.

"Ih rambut gue udah rapi ya?!" aku langsung memukul tangan kirinya.

"By the way, kenapa udah jarang ngumpul sama Nirvana Jakarta? Nirva udah tutup emang? Belum kan?" tanyanya kembali.

Aku terdiam sejenak. Ada rasa sedih mengingat intensitas pertemuan kami yang sudah sangat jarang. "Lagian itu kan cuma geng nongkrong, Ta. Bukan pertemanan dekat kayak gue ke lo sama Karen. Atau kita ke Helmi-Batara. Ya kami punya kesibukan masing-masing. Kebanyakan anggotanya udah pada nikah, jadi susah ngumpul. Terus sibuk sama kerjaan," kataku menjeda sebentar. "Ditambah gue kelar sama Edgar. Mereka jadi agak canggung-canggung gimana gitu deh. Dulu kan Edgar motor penggeraknya Nirvana Jakarta nih, sekarang dia kayak menarik diri aja. Gara-gara ada gue kali ya?"

Genta mendengarkanku dengan seksama. Ia tak langsung membalas atau men-judge apa pun.

"Kapan-kapan temenin gue ke Nirva yuk. Kangen gue ke sana," ajakku.

"Pasti. Kabarin aja kapan. Asal jangan pas gue banyak kerjaan ya," katanya.

***

Aku senang sekali saat Genta terus melaju melewati Stasiun Jurangmangu, stasiun tempatku biasa naik kereta. Katanya, ia merasa tak tega melihatku harus ber-pepes ria di Senin pagi. Jadilah ia mengantarku hingga ke kantor.

"Buruan turun. Gue nggak mau telat," katanya mengusirku yang dari tadi hanya tersenyum lebar atas kebaikannya pagi ini.

"Lo kerasukan setan baik ya, Ta? Thank you loh. Gue doakan hari Senin lo ini lancar jaya, makmur, klien baik, anak buah baik," kataku.

"Iya iya. Buruan turun," kata Genta.

Aku melepas seat belt kemudian mencondongkan tubuhku ke arahnya. "Thank you!" kataku lagi dengan senyuman lebar.

"Sama-sama," katanya. Kemudian, sebelum aku mundur kembali, Genta menarik kepalaku mendekat ke arahnya. Lagi dan lagi, ia mencium keningku.

"Jidat lo lebar, minta dicium banget," katanya memberi penjelasan sebelum aku bertanya-tanya. Aku menyimpan kebingunganku dan menetralkan suasana dengan menceletuk, "awas lo lama-lama suka sama gue."

"You wish!" elaknya. Aku hanya tertawa kemudian turun dari mobilnya.

Dengan langkah riang, aku langsung menuju ruanganku. Sekarang masih jam 8. Masih sangat pagi dari jam kerjaku 08.30. Kalau aku ikut Genta naik mobil, perjalanan memakan waktu lebih singkat. Lain halnya bila aku naik transportasi umum yang harus naik ojek, sambung KRL dan MRT. Mungkin membeli kendaraan bisa kupertimbangkan?

Aku orang pertama yang sampai di ruang HR. Karyawan HR biasanya baru datang 10 menit sebelum jam kerja mulai. Untuk membunuh kesunyian, aku membuka Spotify di ponsel dan memutar playlist Reza Artamevia yang kurasa cocok dengan suasana pagi ini. Aku tidak memiliki TWS seperti Genta, karena terakhir aku membeli AirPods hanya bertahan seminggu karena jatuh saat aku membuka helm ketika turun dari ojek. Bodohnya aku yang mengenakan TWS sembari pakai helm. Tiga jutaku melayang sia-sia dalam tujuh hari.

Suara ketukan security pada dinding kubikel mengagetkanku. Kulihat petugas security datang sembari membawa kotak besar. "Pagi Bu Ane, maaf mengganggu. Ini kemarin minggu ada paket untuk Ibu. Tapi sepertinya barang besar, jadi kami simpan dulu di meja receptionist, tunggu Bu Ane datang baru kami kasih. Takutnya barang berharga," kata security yang nama pada name tag-nya adalah Darmawan.

The Only Exception [END]Where stories live. Discover now