"Morning," sapaku saat menaruh tas di meja bar.

"Hoi. Sarapan dulu, Ne," tawarnya.

"Gue bawa bekal aja deh, takut telat ini," kataku sambil menyiapkan perbekalan hari ini.

"Tumben rapi," celetuk Genta.

"Yoi. Mau meeting sama mas bos ini buat promosi gue. Doain lancar ya."

"Nggak perlu didoain juga pasti lancar," kekehnya.

"Yee. Tetap aja dong, doain yaaah?" balasku.

"Iya iya. Mau diantar nggak?" tawar Genta.

"Mau! Ih kok tumben lo baik sih?" kataku. Aku sudah siap dengan bekal di tangan pun menjadi semakin semangat. Lumayan lah menghemat ongkos dan tak perlu berdesakkan di commuter line.

"Tapi cuciin piring gue," katanya sambil tersenyum lebar.

"Huh! Resek lo! Gue udah rapi-rapi juga," kesalku namun tetap saja aku mengambil piring kosongnya dan membawa ke kitchen sink.

"Gini dong, istri idaman ini," kekehnya. "Lo kenapa nggak beli mobil deh, Ne? Gaji lo kan pasti naik itu nanti pas jadi GM. Masa' GM naiknya masih KRL sih?"

"Eh lo nggak boleh gitu. Banyak kali bos-bos di kantor gue selalu naik kendaraan umum. Lo aja tuh tuker tambah mobil butut lo," protesku.

"Sembarangan. Lo nggak tau aja Volvo mobil kece pada zamannya. Harganya masih mahal nih! Lagian, lo masih takut nyetir ya gara-gara kejadian dulu?"

Aku hanya terdiam. Nyatanya Genta benar, aku sebenarnya masih takut menyetir. Sungguh, pengalaman menabrak dan membuat macet jalan kecil, terlebih digedor-gedor dan dikata-katai oleh pengendara jalan raya, membuatku trauma. Katakanlah aku cupu, tapi memang begitu adanya. Kejadian itu selalu membuatku ngeri dan takut untuk menyetir kembali.

"Ne, masa' gue harus sakit lagi sih baru lo mau nyetir? Hahaha," ledek Genta. "Nanti gue ajarin deh sampai bisa. Malu ah lo masa nyetir motor nggak bisa, mobil juga nggak bisa. Kalau ada keadaan darurat gimana? Lo mau andalin GoJek terus? Kalau nggak ada?"

"Bawel ah lo. Ayo berangkat, nanti telar. Makin siang makin pepes nih keretanya," kataku sembari menaruh piring bersih ke rak.

"Ck. Cantik-cantik kok pepes-pepesan. Sampe kantor bedak lo luntur," ejek Genta yang sudah mengambil kunci mobilnya.

"Nggak merakyat banget sih lo. Dasar sombong! Nggak baik, Ta. Ingat roda kehidupan. Lo terlalu banyak bergaul sama orang-orang kelas atas sih. Ketularan Karen lo, nggak mau susah dan panas-panasan," celetukku. Benar, inilah perbedaanku dan Karen. Karen hidupnya serba istimewa, tidak mau panas-panasan dan bersusah-susah untuk sesuatu. Sedangkan aku mana peduli. Aku tak mempermasalahkan kondisi-kondisi seperti itu.

"Ck. Ngapain bawa-bawa Karen sih?" protes Genta yang sudah berjalan ke mobil.

"Iya lah! Lo jadi anti banget sama perjuangan gue ke kantor naik transportasi umum. Emang apa yang salah coba sama GM pepes-pepesan naik KRL?" cibirku sebelum membuka pintu penumpang.

"Nggak salah sih. Tapi yang salah itu lo. Lagian buat apa sih susah-susah kalau bisa mudah? Lo aja yang takut dan pelit sama diri sendiri. Padahal beli kendaraan juga mampu, duit masih juga disimpan di rekening. Nggak memanjakan diri," katanya diikuti tawa. Sedangkan aku hanya mencebik. "Eh nggak deng, duit cuma buat beli rokok dan mabuk sama geng lo itu. Sekarang gue lokit-lokit lo udah jarang nongkrong ya sama Nirvana?"

Aku menghembuskan napas kasar. "Terserah lo deh. Awas ya kalau gue beli mobil, lo wajib ngajarin gue sampai bisa tanpa syarat kayak dulu."

"Eh nggak bisa! Ada jasa, ada harga dong."

The Only Exception [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora