"Diapain aja tadi di kantor?" tanya Genta.

"Biasalah, anak-anak HR surprise-in gue. Terus ajak mereka makan-makan deh," jawabku. "Tahu nggak sih, masa April nyuruh gue promil sih? Yakali, dia nggak tahu aja kita cuma main-main," kataku. Serius, tingkat pertahanan diriku untuk mabuk memang tinggi, namun tetap saja, bila sudah dicekoki alkohol seperti ini maka rasanya setiap kata-kata keluar begitu mudahnya dari diriku. Ini dia yang sering kusesali, banyak info-info tak penting yang seharusnya tak perlu kuceritakan, ketika aku naik karena alkohol maka hal-hal itu keluar begitu saja dari mulutku.

"Terus lo jawab apa?"

"Gue iya-iyain aja deh biar cepet. Hahaha."

"Good girl," kata Genta. "Terus tadi kok lo bisa bareng Edgar?"

"Iya, jadi gue males balik. Lo kan tadi bilang mau lembur. Ya daripada gue cengo di rumah sendirian, kesepian, jones banget kan di hari ultah malah nonton Netflix sendokir. Pikir gue, lo juga nggak inget ultah gue. Makanya tadi gue nyemok di rooftop biar nggak bete," kataku lalu menuang soju ke seloki Genta dan begitu pula dengan Genta yang menuangnya ke selokiku. "Habis itu ada Edgar datang deh nemenin gue," lanjutku setelah kami meneguk soju.

"Lo masih dekat sama dia ya?" Genta mengorekku.

Aku menggeleng. "Boro-boro. Gue ngajak buat temenan aja dia nolak. Nggak dekat sumpah. Dianya sakit hati banget sama gue pas gue tinggal nikah. Hahaha. Ternyata dia baper. Yaudah deh, gue bisa apa? Diajak temenan juga dia nggak mau karena mau fokus melupakan gue dulu. Kacau ya? Padahal setelah gue pikir-pikir, Edgar bisa banget bantu gue buat belajar mencintai," kataku.

Posisi kami sekarang duduk berhadapan di lantai dengan 2 botol soju kosong di antara kami. Kami sedang berusaha menandaskan botol soju ketiga kami. Layar TV yang menampilkan film Twilight, film yang sudah ribuan kali diputar di HBO, kami biarkan menyala untuk menambah ramai suasana malam ini.

"Lagian gue juga telat sih, Ta. Gue kok baru kepikiran buat mau serius sama orang sekarang-sekarang ini. Gue merasa sepi aja gitu setelah nikah. Ibarat kembang, gue udah layu deh. Gue yakin, semua cowok mundur serentak setelah lihat gue pakai cincin. Makanya itu cincin gue copot deh. Sebel gue lama-lama," jujurku. Genta kemudian meraih jemari tanganku.

"Apaan sih, Ne? Kok lo copot sih? Kalau nanti dicurigain orang gimana? Lo mau kita digosipkan yang enggak-enggak?" protes Genta.

"Ck. Gue udah biasa, Ta, digosipin. Dari zaman kita sekolah dulu juga gue always digosipkan. Mending lo dengerin curhatan gue dulu," kataku kemudian meneguk kembali soju yang sudah kami tuangkan ke seloki.

"Sumpah ya, gue sepi banget, Ta. Lo tahu nggak sih? Biasanya gue kalau ultah banyak banget ucapannya. Kadonya juga banyaak banget. Eh begitu gue nikah, sialan, cuma anak-anak HR doang yang kasih kado. Sisanya cuma kirimin makanan pakai GoFood. Hahaha.

"Gue nggak betah kayak gini terus. Dari mana coba gue dapat afeksi lagi? Masalahnya, gue cuma punya lo doang sekarang. Terus gue pas itu ngobrol kan sama Edgar, dia bilang gue harus belajar mencintai suami sendiri. Anjir, dia nggak tahu aja kita cuma main-main. Mana lo gue minta bantuin malah nggak mau lagi? Kacau lo, katanya simbiosis mutualisme? Ini sih lo yang lebih banyak diuntungkan daripada gue. Yaudah deh, nasib gue. Si Edgar pakai ngatain gue juga lagi, katanya ini semua akibat gara-gara gue impulsif. Katanya lagi, gue bakal menua sendirian. Yaampun Ta, gue nggak bisa bayangin nanti lo nikah sama orang lain terus gue masih jadi janda sendirian terus nggak ada yang mau. Mana gue merasa gue makin tua makin jelek," kataku lepas. Sungguh, aku tidak bisa mengerem kata-kataku.

"Ne, stop. Awas lo ngomong begitu lagi. Dengar ya, lo itu cantik. Lo jadi janda juga yang antre banyak," sanggah Genta.

"Halah bullshit! Kalau gue cantik, kenapa lo bilang nggak tertarik sama gue?"

The Only Exception [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora