"Nggak usah diseka, udah lihat kok," katanya yang membuatku keki. Aku kembali menatap jalanan. Setidaknya Edgar tak melihat wajah lemahku. Aku sudah terlalu sering terlihat lemah di depannya, aku malu.
Kini Edgar bersandar pada pembatas tepat di sampingku. Dengan lancangnya, ia mengambil kotak ice blast dalam genggamanku, lalu membukanya. "Kalau Ane lagi kumat ngerokok tandanya lagi nggak baik-baik aja," katanya saat mendapati kotak rokokku yang isinya tinggal sedikit.
Aku mengedikkan bahu. Lelah berpura-pura aku padanya. Sama seperti Genta, Edgar sudah dapat membaca keadaan dari gerak-gerikku. "Gimana? Udah berhasil mencintai suami sendiri?" tanyanya penuh sindiran.
Aku menoleh padanya sebentar kemudian membuang pandangku. "Menyesal impulsif?" katanya lagi.
"Bisa nggak sih nggak usah mancing? Kenapa kalau aku impulsif? Emang aku nyesal? Nggak usah sok tahu," kataku.
Edgar terkekeh pelan. "Penyesalan? Kentara banget," jedanya. "Jangan kamu pikir menikah tanpa cinta itu indah, Ne. Inilah akibatnya kalau kamu impulsif dalam memilih keputusan hidup yang besar." Perkataan Edgar sungguh menohokku. Aku mati kata dibuatnya.
"Kamu bilang aku harus belajar mencintai Genta. Tapi gimana aku bisa belajar kalau dia aja nggak mau bantu aku?"
Edgar mengedikkan bahunya. "Ya urusan kamu lah. Yang jelas, permainan ini udah kamu mulai. You're so fucking looser kalau kamu nyerah gitu saja," jawabnya dengan suara sinisnya.
"Kenapa di saat aku mau belajar, nggak ada yang mau bantu aku?!" tanyaku setengah berteriak.
"Kamu pikir mencintai itu mudah?" Edgar terkekeh pelan. "Oh satu lagi.. cinta nggak bisa dipaksakan, Ariadne. Tapi kalau melihat kamu sampai nangis kayak gini di hari ulang tahun kamu, ya aku nggak tau ya ini karena Genta atau bagaimana. Cuma, kalau kamu gini karena dia, coba mulai pertanyakan hati kamu deh, Ne," ujarnya yang membuat mataku langsung terbelalak. Apa-apaan Edgar ini? Pertanyakan hati bagaimana? Maksudnya, aku 'mencintai' Genta? Tidak, yang benar saja.
Kami berdua terdiam, larut dalam keheningan rooftop lantai 27 yang hanya ada kami berdua. Hanya kepulan asap di antara kami tanpa adanya perbincangan lagi. Aku menengok jam pada ponselku yang hampir menunjukkan pukul 8. Kulihat pula di grup keluargaku, Anya, Tante Rinda, dan Papa mulai mengucapkan selamat ulang tahun untukku. Sepertinya caraku tadi membuat Anya tersadar akan hari ulang tahunku. Dan mungkin saja Genta menjadi tahu, pria itu kan sudah masuk di grup WhatsApp keluargaku.
"Kamu ngapain masih di sini?" kataku memecah keheningan.
"Kalau aku pergi, besok nggak akan ada berita karyawati Next terjun dari lantai 27 kan?"
Aku mendengus. "Ya enggak lah."
"Oke, aku pulang setelah kamu pulang," katanya.
"Well, thank you udah temenin nyebat di sini. Kayaknya aku emang harus pulang," pamitku.
"My pleasure. Sekali lagi, selamat ulang tahun. Jangan mengandalkan bahagia dari orang lain, buat bahagia dari diri kamu sendiri, Ne. You are very precious," ujarnya kemudian menepuk pundakku dua kali yang membuatku kembali terpana dengan kata-katanya.
"Kamu kenapa gini sih? Aku udah nyakitin kamu, tapi kamu masih mau baik sama aku?" tanyaku.
"Umurku udah 32, Ne. Bukan kepala 2 kayak kamu," ujarnya kemudian tertawa pelan.
***
Hampir jam 9 saat aku baru sampai rumah. Mobil Genta sudah terparkir di carport. Bukankah ia mengatakan akan lembur hari ini? Mengesampingkan rasa penasaranku, aku memilih segera masuk. Namun saat pintu rumah terbuka, yang kudapati adalah Genta yang masih mengenakan setelan kerjanya sembari menata bahan makanan di atas meja bar.
YOU ARE READING
The Only Exception [END]
RomancePesahabatan yang dibangun Ane, Genta, dan Karen hancur lebur kala Karen-calon istri Genta-secara tiba-tiba membatalkan pernikahan saat persiapan sudah rampung 85%. Sakit hati Genta yang begitu mendalam serta kekecewaan Ane pada Karen, membuat trio s...
17. Tipsy
Start from the beginning
![The Only Exception [END]](https://img.wattpad.com/cover/200767549-64-k174844.jpg)