👑 Bucket List

2.5K 284 72
                                    

"Gerimis, Jeno, loe ngapain duduk disini?" tanya seorang gadis dengan payung merah jambu. Gadis itu mengangsurkan payungnya pada Jeno yang duduk di bangku taman siang itu. Padahal cuaca sangat mendung dan gerimis sejak tadi tak kunjung usai.

"Lami?" Jeno bereaksi. Ia bisa menangkap aroma cherry saat itu. Aroma parfum yang digunakan Lami.

"Hmm..." gumam Lami.

"Gue pikir loe nggak akan dateng menemui gue." Jeno mengurai senyum ceria andalannya.

"Jangan senyum kayak gitu, Jen. Gue benci banget liatnya." batin Lami yang sebagian seragamnya sudah hampir basah terkena gerimis.

"Lami..."

"Hmm..."

"Ada hal yang mau gue omongin sama loe." buka Jeno.

"Ok, tapi nggak disini. Sekarang gerimis. Kita cari tempat lebih baik buat ngobrol." sahut Lami.
"Sebentar kok. Lagian gue juga udah ditungguin Om Johnny sama Kak Damian." ujar Jeno.

Lami menatap lama remaja sebayanya itu. Tiba-tiba saja air matanya menetes saat ia dapati sebuah tongkat di sebelah Jeno. Ia hampir lupa kalau saat ini Jeno sama sekali tak bisa melihat apapun. Termasuk dirinya.

"Ok," Lami lalu mengambil duduk di sebelah Jeno. Berbagi payung miliknya pada Jeno agar anak itu tak kebasahan.

"Jadi mau ngomong apa?" tanya Lami cepat. Ia enggan berbasa-basi. Bukan karena ia malas bicara banyak dengan Jeno. Hanya saja setiap kali melihat Jeno, hatinya seperti tercabik-cabik tanpa ampun.

"Gue ngerasa loe menghindari kita, Lam." gumam Jeno. Seragamnya sudah setengah basah karena hampir lima belas menit duduk disana tanpa payung. Awalnya ia pikir Lami akan segera datang, maka dari itu ia menolak payung yang di berikan Johnny. Ia bahkan juga menolak ditemani.

Lami diam saja, belum mau menjawab. Ia akan membiarkan Jeno menyelesaikan kalimatnya.

"Ada masalah ya?" tanya Jeno yang pandangannya tetap lurus ke depan.
Lami kembali mengusap pipinya yang basah tanpa menjawab pertanyaan Jeno.

"Nggak biasanya loe begini. Biasanya loe selalu cerita apapun ke kita kalau ada masalah atau ada hal yang mengganggu pikiran loe." celoteh Jeno.

Lami menghela napas panjang demi membendung air matanya. "Jeno, nggak semua hal harus selalu gue ceritain ke kalian." katanya dingin.

Jeno tentu kaget bukan main mendengar ucapan Lami. "Ah... Sorry, harusnya gue tahu dan lebih bisa menghargai privasi loe." katanya pelan. Ia benar-benar merasa bersalah.

"Ada beberapa hal yang harus dibagi. Ada juga beberapa hal yang nggak seharusnya dibagi. Dan saat ini gue sama sekali nggak bisa berbagi apapun sama kalian." tukas Lami.

Jeno manggut-manggut mengerti. Ia benar-benar merasa tak enak hati. Seharusnya ia mengerti bagaimana keadaan Lami. Seharusnya ia tak perlu berprasangka buruk.

"Alasan gue menghindari kalian adalah karena gue nggak mau jadi beban buat kalian kalau gue cerita soal masalah gue." sambung Lami seraya menatap sepatu kets putihnya yang hampir basah.

"Sorry, Lam." Jeno menunduk.

"Harusnya gue yang minta maaf bodoh. Harusnya gue bersimpuh di depan loe, Jeno." batin Lami. Sakit bukan main hatinya saat ini mendengar Jeno mengucapkan maaf.

"Sorry karena kita nggak peka sama keadaan loe. Harusnya kita tahu apa yang loe rasain. Bukan malah bertanya macam-macam." Jeno bicara lagi.

Lami menggeleng kuat. Baginya, Jeno, Jeremy, Juna dan Chandra adalah teman-teman yang hebat. Mereka sempurna sebagai teman untuknya. Namun dengan bodohnya ia merusak sesuatu yang sempurna itu dengan menyakiti salah satunya: Jeno. Dan ia tahu itu adalah dosa besar. Menyakiti orang yang baik hatinya adalah dosa besar, begitu yang selalu Lami dengar dari ibunya. Tapi ia melakukannya. Dan Jeno adalah orang yang selalu ia sakiti.

A LITTLE PRINCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang