👑 Wound

2.3K 294 82
                                    

Pagi itu, usai sarapan, Jeno terlihat berada di halaman belakang rumahnya. Duduk di kursi roda dengan matahari pagi menerpa seluruh tubuhnya. Anak itu tak berhenti memainkan sebuah kotak berwarna biru di pangkuannya. Kotak itu sejak tadi terus menemaninya duduk dibawah matahari kala itu.

Sesekali anak itu menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Sejak tadi peluh sudah membasahi tubuhnya akibat duduk dibawah sinar matahari. Namun ia senang melakukan hal itu. Dokter bilang matahari pagi benar-benar baik untuk kesehatan.

"Apa yang sebenarnya loe mau, Rama?" Jeno membatin sambil berusaha membayangkan wajah Rama yang saat ini entah kenapa tampak samar dalam bayangannya.

Jeno tentu penasaran apa isi dari kotak berwarna biru pemberian Rama itu. Sejak ia menerimanya dari Chandra beberapa waktu lalu, ia hanya menyimpannya di laci nakas ruang rawatnya, pun setelah kembali ke rumah, kotak biru itu hanya menjadi penghuni laci nakas di kamarnya. Dan baru hari ini ia mengeluarkannya dari sana.

Ia ingin membukanya, namun ia juga ingin sekali menanyakan langsung pada Rama apa maksud anak itu memberinya sebuah hadiah seperti ini. Mengingat hubungan mereka tak pernah baik sedikitpun. Tentu saja ia tak mau asal menerima hadiah dari orang yang selalu bersitegang dengannya itu.

"Jeno," suara berat itu berhasil membuat Jeno melonjak kaget. Membuat lamunannya buyar seketika. Bisa Jeno tangkap aroma yang sangat ia kenali. Aroma parfum ayahnya.

"Ayah?" gumam Jeno.

"Jeno belum mau masuk?" tanya Dimas yang bersimpuh di depan putranya. Matahari mulai terasa lebih terik karena hampir pukul delapan pagi.

Jeno menggeleng. "Ayah dimana?" tanyanya dengan kedua tangan bergerak kesana kemari mencari sesuatu. Berusaha menemukan ayahnya yang hanya bisa ia dengar suaranya.

Dimas meraih pelan salah satu tangan Jeno. Seketika anak itu tampak lega. Dan itu sukses membuat rongga hatinya terasa hangat. Lebih hangat dari mentari pagi itu.

"Ini apa?" Dimas menyentuh kotak berwarna biru di tangan Jeno. Ia pandangi putranya itu dengan seksama.

"Hadiah dari salah satu murid di sekolah Jeno." sahut Jeno pelan.

Dimas mengerutkan dahinya. "Ayah pikir hadiah Jeno cukup banyak, tapi kenapa cuma satu ini aja yang sepertinya Jeno suka?" tanyanya.

"Jeno justru nggak suka hadiah yang satu ini, Yah." ungkap Jeno.

"Kenapa?" tanya Dimas menatap heran putranya.

"Jeno merasa nggak perlu mendapatkan hadiah ini." Jeno menjawab pelan kemudian terbatuk sesekali.

"Pasti hadiah dari seseorang yang nggak Jeno suka." Dimas menebak.

"Hmm," Jeno mengangguk pelan.

"Kenapa Jeno nggak suka sama dia?" tanya Dimas.

"Hubungan Jeno sama dia nggak begitu baik. Kita bahkan nggak pernah saling bersikap baik." cerita Jeno dengan wajah masam. "Dan Jeno kaget ketika dia titip hadiah buat Jeno lewat Chandra." katanya.

"Seseorang yang pernah membuat Jeno cedera?" tanya Dimas.

Jeno mengangguk. "Tapi Jeno rasa dia anak yang baik, Yah." katanya.

"Kenapa Jeno bisa berpikiran seperti itu sementara Jeno nggak berhubungan baik sama dia?" Dimas menatap lekat wajah putranya yang benar-benar seperti wajahnya itu.

"Perasaan Jeno bilang gitu. Nggak tahu kenapa Jeno merasa punya kepedulian sama dia, Yah. Dan Jeno justru kasihan setiap kali lihat dia." jelas Jeno sembari mempererat genggaman tangan ayahnya demi menahan kepalanya yang mendadak sakit.

A LITTLE PRINCEWhere stories live. Discover now