👑 Syndrom

4.2K 395 41
                                    

Dimas mengarahkan pistol miliknya tepat di depan wajah Michael yang berdiri di hadapannya. Setelah melalui drama panjang dan menyebalkan, akhirnya ia berhasil bersitatap dengan pria jahanam itu. Pria yang sesungguhnya tak ingin ia lihat lagi wajahnya. Pria yang sesungguhnya tak ingin ia ajak lagi untuk bicara. Dan tentu saja pria yang sesungguhnya ingin sekali ia hancurkan dengan kedua tangannya sendiri.

Rahang Dimas mengatup rapat. Tatapannya dingin tepat di manik mata Michael. Sekali ia menarik pemicu pistolnya, salah satu peluru disana akan berpindah ke kepala pria itu. Menghancurkan pria itu. Membuatnya tak berdaya.

"Kamu senang, Dimas?" pria bernama Michael itu bertanya dengan senyum khasnya. Dengan santainya ia maju selangkah. Menyisakan jarak cukup dekat dengan pistol milik Dimas.

Dimas menyunggingkan seulas senyum tipis. "Ah, ada yang kamu lupakan." tukasnya dingin.

Dahi Michael berkerut. Kemudian senyumnya merekah beberapa detik kemudian. "Kalau begitu kamu bisa menembak saya malam ini." katanya santai sambil merentangkan kedua tangannya.

Gantian kening Dimas yang berkerut. "Apa yang kamu inginkan?" tanyanya.

Michael justru terbahak. Seakan pertanyaan Dimas adalah sebuah lelucon menggelikan. "Setelah beberapa tahun terlewati, kamu masih tanya apa mau saya?" katanya penuh seringaian.

Dimas berdecih sembari menyeka darah segar yang hampir mengering di sudut bibirnya. "Kamu yakin bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan?" tanyanya dengan senyum mengejek.

"Tentu saja, Dimas. Saya sudah mendapatkannya." Michael mengukir senyum iblis andalannya.

Lagi, Dimas kembali megatupkan rahangnya. Emosi di dalam dadanya sudah tak bisa ia bendung lagi. "Berhenti menemui Jeno!" tandasnya dengan penuh penekanan di setiap katanya.

Michael terkekeh. "Oh ya, Dimas. Jeno benar-benar tumbuh menjadi laki-laki yang tampan seperti kamu. Bukankah seharusnya kamu berterimakasih pada saya karena saya tidak jadi menembak kepalanya tujuh tahun silam?" katanya dengan nada bangga.

Dimas geram dan hampir menarik pemicu pistolnya usai mendengar ucapan Michael. Namun wajah Jeno yang tengah tersenyum dan tertawa tiba-tiba terlintas dalam benaknya. Putranya itu benar-benar tumbuh menjadi anak yang ceria dan juga mengagumkan. Sampai terkadang membuatnya merasa takut. Takut kalau terjadi sesuatu oleh putranya itu. Takut kalau ia tak mampu lagi melihat senyum dan tawa darinya.
"Kenapa, Dimas?" tanya Michael menatap pria yang hampir saja menghancurkan kepalanya itu.

Bugh!

Dimas berhasil melayangkan sebuah pukulan di wajah Michael hingga membuat pria itu tersungkur. Sejak tadi ia ingin melakukan itu. Namun ia harus mengisi tenaganya lebih dulu usai menghabisi beberapa anak buah Michael yang berjaga di sekitar mansion tersebut.

Michael menyeka sudut bibirnya yang berdarah. Kemudian ia menyeringai menatap Dimas. "Saya pikir kamu hendak menembak kepala saya, Dimas." katanya.

Dimas memasukkan pistol ke dalam saku celananya. Kemudian ia mendekati Michael dan segera menarik kerah jaket kulit pria itu. Ia tak takut sama sekali meskipun semua anak buah Michael yang ada di ruangan itu mengarahkan pistol mereka masing-masing ke kepalanya. Sekali saja Michael memberi perintah menembak, bisa dipastikan kepala Dimas akan langsung hancur detik itu juga.

"Kamu nggak takut?" tanya Michael yang wajahnya benar-benar sangat dekat dengan Dimas. Pria itu menariknya mendekat.

"Kamu bisa melakukan apapun yang kamu mau. Tapi tolong, pergi secepatnya dari hidup Jeno. Berhenti mengganggu Jeno. Kamu tahu, kan kalau saya bisa melakukan apapun yang saya mau?!" geram Dimas kemudian memberikan sebuah pukulan lagi. Kali ini tepat di ulu hatinya. Dan pria itu kembali tersungkur.

A LITTLE PRINCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang