Bab 1 : Sepasang Merpati

61 14 4
                                    

"Aku tidak percaya ini."

Perempuan dengan surai hitam bergelombang itu sedikit berdecak. Sweater merah muda dengan jeans setengah paha yang dia pakai tampak cocok ditubuh mungilnya. Sekalipun wajah manis itu menggerutu dengan raut garang, sama sekali tak memudarkan kerlipan disekelilingnya yang selalu menarik perhatian orang-orang.

"Dengar, aku sudah mengambil buku ini lebih dulu. Jadi, ini milikku."

Namun tampaknya kerlipan tersebut tak membuat pemuda bersurai biru ini tak bergeming. Kedua alis Amara bertaut. Gadis itu melipat tangannya. "Tapi, aku yang menemukan ini pertama kali."

"Dan kenapa saat kau menemukannya, kau tak mengambilnya?"

"Itu-" Amara terdiam. Kehabisan kata-kata melawan pemuda berambut biru dengan iris abu jernih dan menyala. Tatapannya seperti singa yang siap memangsa, tapi dirinya sudah terbiasa dengan tatapan yang lebih berbahaya dari itu.

Seharusnya saat pertama kali menemukan buku yang dia inginkan, Amara mengambilnya dan membayarnya ke kasir. Masalahnya saat Amara hendak mengambil buku tersebut, tangan lain sudah lebih dulu mengambilnya. Benar-benar memang.

Padahal ini bukan kisah novel romantis anak muda. Melainkan novel lama yang menceritakan kisah sastra lama sepasang merpati. Tapi kenapa masih ada orang yang mengincarnya?!!

"Begini tuan," Amara berusaha mempertahankan bukunya. Gadis itu memberi jeda, mencari kata-kata yang pas. "Aku sangat-sangat menginginkan buku itu, kau tau berapa banyak toko buku yang aku kunjungi?"

"Aku tidak ingin tau itu."

"Tuan." Amara memejamkan matanya, menahan umpatan. Pemuda ini tampan tapi menyebalkan. Dia mengulurkan tangan dan memasang wajah memelas. "Tolong berikan padaku bukunya. Kumohon, hmm?"

Ayolah!, luluh saja.

Dengan kedua jemari yang saling bertaut, wajah Amara sudah dibuat selembut mungkin. Bahkan nyaris merengek sampai membuat pengunjung yang berlalu-lalang terbius saat melihat pancaran sinar dari matanya.

Pemuda ini pasti tidak menolak!

Amara tersenyum-senyum. "Bolehkan?"

"Tidak."

Apa?

Amara mengerjapkan matanya.

Ternyata cowok ini bebal.

Pemuda dengan kemeja biru itu menarik bukunya, sama sekali tidak terpengaruh oleh wajah imut memelas gadis itu. Justru yang dia lakukan adalah memajukan wajahnya, berbisik tepat disamping telinga kirinya.

"Apa itu caramu meminta, Nona? Imut sekali."

Kepala Amara sedikit menongak, menerima sorotan geli dari pemuda didepannya. Pemuda itu menutup mulutnya dengan satu jari telunjuk, memiringkan kepala.

"Sangat-sangat imut"

Pria aneh menyeramkan!!

Amara melangkah mundur, berkedip beberapa kali saat pemuda itu kembali menormalkan mimik wajahnya. Tidak, pemuda ini sepertinya tidak normal!

"Jadi kau tidak bisa memberikan bukunya padaku."

"Tidak akan kuberikan." Pemuda itu mengangkat bukunya, menunjukan sesuatu yang sudah menjadi miliknya. "Sesuatu yang sudah menjadi milikku, akan selamanya menjadi milikku."

Lalu dengan langkah berderap yang berirama, sosok pemuda itu berbalik meninggalkan Amara yang terpaku tak merespon.

Wah, dia bertemu orang aneh.

***

"Jadi, maksudmu ada pemuda tak dikenal yang mengatakan hal tidak sopan padamu hanya karena sebuah buku?"

"Hm-mm."

"Kau tidak kenal dengannya?"

"Ya."

"Wah, aku kagum padanya. Seumur hidup aku tidak pernah melihat seseorang yang berani mengatakan hal buruk pada. Ahh, bahkan putra Keluarga Kreuz sampai tergila-gila padamu."

Amara mendesis jengkel. Mendorong bahu temannya dengan cemberut. "Kau tak membantu, Thalia."

Thalia, perempuan berambut merah muda itu terkekeh. Iris hijaunya berkeling. "Itu hanya buku, Nona. Jangan khawatir. Akan ada toko lain yang menjualnya."

"Kuharap begitu." Amara mengangguk pelan. Menjatuhkan kepalanya diatas meja, menghadap ke jendela yang terhubung dengan lapangan sekolah.

Gadis itu mengerjap saat melihat lapangan yang ramai. "Ngomong-ngomong kenapa hari ini sekolah sangat ramai?"

"Kau tak tau?"

Amara mengangkat wajahnya.

"Tak tau apa?"

"Benar-benar tidak tau rupanya," Thalia menggeleng tersenyum miris. Dia seharusnya ingat bahwa Amara selalu disibukkan dengan tugasnya sebagai anggota OSIS, gadis itu bahkan tidak mendengar gosip terbaru di Sekolahnya.

"Sekolah kita kedatangan murid baru. Kudengar dia sangat tampan. Bekerja sebagai model pria dari majalah ternama dan pintar semua mata pelajaran. Bahkan grup kelas membagikan fotonya di forum sekolah, kau mau lihat?"

Amara menggeleng tidak tertarik. "Tidak, terimakasih."

Hanya kedatangan murid baru kenapa harus seramai itu?

"Lihat, dia sudah datang!"

"Astaga. Liam!"

Baik Thalia maupun Amara sama-sama menoleh, tidak, bahkan pekikan para gadis melengking sampai ke lantai dua kelasnya berada.

Seakan ada sayap malaikat yang tidak terlihat, saat mobil hitam terbuka, sosok pemuda dengan seragam tidak rapi keluar. Tidak memakai almamater dan seragam putih digulung sampai siku. Rambutnya biru berantakan, tapi malah membuat murid perempuan semakin bersemangat menyoraki ketampanannya.

Liam Zalwin.

Pemuda yang kemarin merebut buku yang susah payah Amara dapat, sekarang berdiri dengan jarak pandang yang bisa dia lihat. Amara mendengus melihat pemuda itu mejadi pusat perhatian, dikelilingi gadis-gadis yang menyerukan namanya penuh cinta.

Ditengah keadaan itu, pemuda itu mendongak. Menatap ke lantai dua tempat Amara memperhatikannya sambil bertopang dagu.

Tatapan mereka bersirobok.

Amara berkedip saat sudut bibir Liam terangkat, bibirnya bergerak mengatakan sesuatu tanpa suara,

"Halo, Nona-"

Tanpa ada yang menyadari, seringaian kecil terbit dibibir tipisnya.

~To Be Continue~

|KEKIRA|Where stories live. Discover now