Keping 22 : Interogasi Dadakan

3.4K 323 81
                                    

happy reading

........................

Ikhsan masih mematung.

Sementara Lora tersenyum lebar dan kembali duduk setelah bertanya sambil melotot. Usai memastikan ia tak mendapat jawaban dari sang senior, Lora berceletuk ringan, "ya udah, selagi Bang Sanul mikir mau ngasih Lora jawaban apa, Lora gas keun dulu nasi rendang pake ayam suir ini. Endul surendul soalnya."

Ikhsan menatap Lora dengan tatapan yang membingungkan. Tak bersuara sepatah kata pun.

"Demi kulit sapi yang dijemur jadi kerupuk, rendang sama ayam suir ini enak banget Bang. Bang Sanul mau coba? Mau Lora suapin ha?" Lora bersuara menggoda sang suami. Ia tahu Ikhsan tidak baik-baik saja kini, dan ia memanfaatkan keadaan itu untuk membuat Ikhsan merasa semakin tidak baik.

Tapi Ikhsan yang digoda oleh sang gadis sedang pusing tujuh keliling sekarang, sama sekali tak minat menanggapi celotehan itu.

Karena tak mendapatkan umpan balik dari Gus Gantengnya, Lora hanya memilih untuk khusuk saja menikmati makanannya. Tak lagi usil menggoda.

Dapur itu hening untuk beberapa saat.

Di wajah Ikhsan, raut ketidak-berdayaan jelas tergambar. Kalaulah Lora tak ada saat ini, rasanya Ikhsan ingin menghantamkan kepalanya ke kuali lalu berendam di dalam lautan sambal terasi. Hal itu jauh lebih baik dari pada harus menerima kenyataan bahwa Lora mendengar kata 'Arini' yang keluar dari mulutnya.

Ikhsan beristighfar tak henti-henti, berusaha menenangkan hatinya yang entah kenapa terlalu sulit untuk ditenangkan.

Sepuluh menit dalam keheningan, akhirnya Ikhsan angkat bicara, kebetulan Lora sudah selesai dengan kegiatan mengisi ulang saldo lambungnya, "bisakah kamu lupakan apa yang barusan kamu dengar, Lora?"

"Yang mana Bang?" Lora bertanya balik, sok polos.

"Yang... yang..." Ikhsan tak tahu kata apa yang tepat untuk melengkapi kalimatnya.

"Yang Arini itu?" Lora masuk ke dalam arus percakapan dengan langsung me-mention objek asli.

Ikhsan mengangguk dalam, "saya harap kamu bisa lupakan apa yang barusan saya katakan. Anggap saja kamu tak dengar apa-apa."

"Tergantung." Lora memancing Ikhsan untuk masuk ke dalam jebakannya. Gadis itu tersenyum nakal, ia merasa sedang berada di puncak karir saat ini.

Ikhsan yang tadinya berdiri agak jauh dari si gadis mulai maju selangkah demi selangkah. Dapur itu tak terlalu besar, hanya ruangan segi empat berukuran empat kali empat meter yang dipenuhi tatakan kayu pada keempat sudutnya. Segala macam aksesoris yang tergeletak di dapur itu hanya menyisakan sedikit ruang kosong untuk bisa duduk. Maklum, di seluruh bentangan lantai dapur berbagai macam panci dengan beragam isi sedang bertebaran. Maka jika Ikhsan berjalan menuju Lora, itu berarti jarak mereka sangat dekat satu sama lainnya.

"Tergantung? Maksudmu apa dengan berkata seperti itu?" Ikhsan bertanya sambil menautkan dua alis tebalnya.

"Mmmm..." Lora melama-lamakan jawabannya, sengaja, ia ingin mempermainkan rasa penasaran Ikhsan.

"Jawab yang pasti Lora!" Ikhsan mulai mendesak, tak terima dengan tingkah bocah istrinya.

Lora berdiri dari duduknya, mendekat pada Ikhsan dan bersuara pelan, "tergantung... kalau Lora bisa menggantikan posisi itu, Lora bakal lupain apa yang barusan Bang Sanul bilang."

"Posisi apa? Jangan bermain-main Lora." Ikhsan tak paham dengan apa yang Lora katakan.

Tentu saja posisi Arini di benak Ikhsan, apa lagi kalau bukan itu? Bukankah kehadiran Lora dalam hidup Ikhsan adalah untuk membuat Ikhsan tersungkur padanya dan melupakan wanita yang Ikhsan suka? Hanya itu yang bisa membuat Lora bernapas lega setelah Ikhsan merenggut niatnya untuk bertualang cinta. Ia inginkan kesetimpalan. Jika dirinya tak dapat apa yang dia mau, maka Ikhsan juga tak boleh dapat apa yang dia mau. Cukup sesederhana itu.

SanuLora (InsyaAllah, Rindu ini Halal)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora