Dengan posisi berbaring menyamping menghadap Genta, kuperhatikan rupa pria itu. Pria yang sudah menemani hariku sejak 20 tahun lamanya. Aku masih ingat kali pertama aku bertemu dengan Genta adalah saat keluargaku memutuskan pindah rumah. Aku bertetangga dengan Genta. Kami bertemu saat aku ikut Tante Rinda arisan bersama warga RT di rumah Almarhumah Tante Nuke, ibu kandung Genta yang sudah meninggal. Pertemuan satu hari itu membuat kami menjadi akrab, terlebih saat Tante Rinda menjadi akrab dengan Tante Nuke.
Keluargaku lebih dulu pindah rumah, namun itu semua tidak menyudahi pertemananku dan Genta. Kami tetap satu sekolah sejak SMP, SMA, dan bahkan saat kuliah, kami sama-sama mengambil Universitas Indonesia sebagai pilihan kami meski pada akhirnya berbeda fakultas.
Aku juga masih ingat saat Genta kehilangan ibunya saat kelas 1 SMP. Dulu aku yang menghiburnya, memaksanya bermain untuk mengalihkan kesedihannya, bahkan pada akhirnya keluargaku mengajak Genta untuk ikut piknik ke Bali. Sejak itu, hubungan kami yang sebelumnya sebatas teman main yang dekat menjadi semakin akrab dan bersahabat.
Aku pernah melihat sisi lemah Genta, aku juga tahu sisi buruk pria itu. Namun sedikit tidak adil karena pria yang kuanggap sahabatku satu-satunya itu tidak tahu semua tentang sisi diriku. Genta tahu perihal kekecewaanku pada Papa dan Tante Rinda. Ia tahu perihal aku yang takut jatuh cinta. Ia juga tahu perihal kebiasaan burukku dulu sejak SMA yang selalu bergonta-ganti pacar atau sekadar menjadi pemberi harapan palsu bagi teman-teman priaku. Namun Genta tidak tahu mengapa aku begitu. Ia tidak tahu bahwa sebenarnya yang kubutuhkan adalah afeksi dan perhatian. Ia tidak tahu bahwa sebenarnya aku takut jatuh cinta karena sepucuk surat sialan yang kubaca saat di rumah Eyang Tari. Surat yang mengubah hidupku yang semula damai dan bahagia menjadi dipenuhi rasa marah dan kecewa akan pengkhianatan.
Aku kembali mengamati Genta. Setelah kupikir-pikir, banyak sekali perubahan padanya. Genta kecil sekarang sudah benar-benar matang dan menjadi lelaki dewasa. Mukanya dulu yang lucu dan selalu kuledek seperti bocah, kini tidak ada lagi kesan kekanakan pada mukanya. Garis mukanya begitu tegas dengan rahangnya yang kokoh. Hidungnya mancung ke atas dan alisnya tebal. Aku mengakui Genta dewasa bertambah tampan berkali lipat. Tak heran banyak sekali yang menyukainya sejak ia remaja. Aku sampai jadi korbannya. Diejek bitchy dan perusak hubungan Genta sudah biasa. Sering pula aku menjadi sasaran amukan mantan Genta karena mereka yang tidak suka kedekatanku dengan Genta. Namun banyak pula yang mendekatiku hanya untuk mengambil hati agar bisa kudekatkan dengan Genta.
"Ne, buka hati kamu. Belajar mencintai. At least kamu bisa belajar mencintai suami kamu sendiri daripada kamu terus bergantung sama aku."
Perkataan Edgar tempo hari kembali muncul di pikiranku. Rasanya lucu, bagaimana aku bisa belajar mencintai Genta? Hahaha. Aku sayang dengan Genta, aku juga cinta dengannya. Namun rasanya cinta dan sayang itu hanya sebatas rasa cinta platonis. Setampan apa pun Genta, sebaik apa pun dirinya, dan sedekat apa pun kami, rasanya hatiku terkunci untuk mencintai Genta sebagai perempuan yang menyukai laki-laki. Tidak ada eros apalagi ludus.
Tapi kalau kupikir-pikir, bagaimana bila aku meminta bantuan Genta? Meminta bantuannya untuk membantuku membuka hati. Astaga! Membayangkan itu membuatku mual. Rasanya sungguh cringe! Namun, siapa lagi yang bisa kumintai bantuan kalau kini aku sudah terikat dengannya? Meski untuk sementara waktu, setidaknya aku bisa mendapat manfaat lebih dari simbiosis yang kami lakukan ini.
Tapi lagi dan lagi, rasa takut mengurungkanku. Bagaimana kalau aku jatuh cinta dengannya? Bagaimana kalau aku bergantung dengannya? Sedangkan, mana mungkin ia membalas cintaku? Tidak akan sulit bagi Genta untuk menemukan sosok perempuan yang mencintainya. Kelak ia akan mendapatkan pasangan hidup yang mencintai dan menyayanginya setulus hati. Dan kalau ia sudah menemukan sosok itu, matilah aku. Aku sama siapa? Apakah aku akan sendirian, mati sendiri tanpa mendapatkan afeksi seperti yang dikatakan Edgar? Tapi kalau bukan Genta, siapa yang mau membantuku? Terlebih saat ini statusku sebagai istri orang.
Berpikir seperti itu membuatku mengantuk. Kepalaku menjadi pusing sendiri. Aku tidak menemukan titik akhir. Sepertinya lebih baik aku tidur. Kumatikan lampu kamarku, kemudian beranjak naik ke kasur lagi, tepat di sisi Genta. Yasudahlah, biarlah ia tidur malam ini di kamarku. Toh kami sudah pernah tidur berdua sebelumnya. Kutarik pula selimut untuk menutupi tubuh kami. Malam ini adalah kali pertama kami tidur berdua tanpa adanya keterpaksaan.
***
Aku terbangun saat cahaya mentari masuk melalui celah ventilasi dan menyinar tepat di mataku. Tidurku semalam kurasa sangat berkualitas. Kudapati sisi sebelahku yang semalam terbaring Genta, kini sudah kosong. Genta sudah tidak ada di sana. Sama dengan sepiring mie goreng yang semalam kutaruh di atas nakas, sudah tidak ada di sana. Setelah merenggangkan otot-ototku, aku pun menuju dapur untuk minum air. Sebuah kebiasaan bagiku untuk minum air sesaat setelah bangun pagi.
"Ta?" panggilku saat kudapati Genta sedang duduk di kursi baru sambil memakan sesuatu. "Kapan bangun?"
"Belum lama kok," katanya dengan suara tidak jelas karena mengunyah... mie goreng?!
"Loh kok lo makan mie goreng? Itu yang semalam gue taruh di meja?" tanyaku yang dibalas anggukannya.
"He'eh. Thank you ya," jawabnya.
"Ih kok dimakan sih?! Kan udah dingin. Gue taruh dari malam loh soalnya lo tidur. Buang aja, Ta," kataku.
"Telat udah abis," jawabnya sambil memasukkan suapan terakhir ke mulutnya. Mie goreng yang pasti sudah dingin dan keras itu sudah tandas olehnya. "Enak kok. Sorry ya gue malah ketiduran semalam. Hehehe," ujarnya sambil tertawa. Sementara aku hanya menggeleng-gelengkan kepala, tidak habis pikir dengan pria itu.
"Sumpah lo bahaya banget sih pagi-pagi makan mie goreng dingin! Kalau sakit lagi bagaimana?" omelku.
"Ya tinggal lo setirin ke rumah sakit lagi. Lagian mubazir kalau dimakan. Orang gue juga lapar," jawabnya sambil terkekeh. "Mau dimasakin apa hari ini?" lanjutnya.
Aku berpikir sejenak sebelum kemudian menjawab, "sayur bayam pakai jagung terus tempe goreng ya."
Genta langsung mengacungkan kedua jempolnya. "Temanin ke belanja dulu ya tapi," katanya.
***
Vote-nya yang banyak dulu baru aku post update lagi hehehe :D
YOU ARE READING
The Only Exception [END]
RomancePesahabatan yang dibangun Ane, Genta, dan Karen hancur lebur kala Karen-calon istri Genta-secara tiba-tiba membatalkan pernikahan saat persiapan sudah rampung 85%. Sakit hati Genta yang begitu mendalam serta kekecewaan Ane pada Karen, membuat trio s...
15. Ketiduran
Start from the beginning
![The Only Exception [END]](https://img.wattpad.com/cover/200767549-64-k174844.jpg)