Scandal | 36

819 60 1
                                    

Anneth menggeliat pelan di atas kasurnya. Kedua matanya mengerjap sebelum akhirnya dapat terbuka dengan sempurna. Ia terperanjat pelan melihat Kenneth yang berbaring di sampingnya. Dengan takut-takut, ia mengecek seluruh tubuhnya dan menghela napas lega saat mendapati dirinya masih berbusana lengkap.

Pengalaman mabuknya yang terakhir kali dengan orang yang sama--yang kini tengah tertidur tepat di sampingnya--mau tidak mau membuatnya parno juga. Cukup satu kali ia kecolongan. Jangan sampai ada yang kedua bahkan ketiga kalinya.

Masih dengan rasa pusing yang melanda, Anneth mencoba untuk bangkit. Ia sempat terdiam sebentar di pinggiran kasur sebelum kemudian melangkahkan kaki keluar dari kamar. Ia butuh minum air putih untuk meredakan hangover-nya. Dan mungkin ia juga akan membawakan Kenneth segelas air.

***

Kenneth mengerjapkan matanya saat sinar cahaya menembus tirai kamar Anneth. Rasa pusing yang masih melanda membuat ia kembali memejamkan matanya sebentar.

Baru saja ia memejamkan matanya kembali, tubuhnya digoyang perlahan. Terpaksa, ia kembali membuka mata dan melihat Anneth yang telah terlihat lebih baik dari semalam tengah memegang segelas air putih.

"Ini, minum dulu." Kenneth mendudukkan dirinya dan menerima uluran gelas dari Anneth. Ia lantas meminum air putih itu dan mengembalikan padanya gelas yang telah kosong.

"Udah mendingan?" tanya Anneth kemudian. Kenneth mengangguk pelan. "Aku perlu mandi. Bakal lebih enakan kalau udah mandi."

"Ya udah. Sana, pulang!" usir Anneth begitu saja yang membuat Kenneth mendengus.

"Gak ada ucapan terima kasih, gitu?"

"Makasih," ucap Anneth singkat tanpa ada unsur ketulusan. Kenneth mencibir. "Ucapan terima kasih macam apa yang begitu?"

"Udah, sana. Kamu pulang aja!" usir Anneth lagi tak menghiraukan sindiran Kenneth.

"Kamu ngusir?" Anneth mengangguk tanpa ragu menjawab pertanyaan Kenneth. Kenneth mengembuskan napasnya kesal.

"Iya, aku pulang. Puas kamu?" seru Kenneth kemudian. Anneth tersenyum lebar hingga menampilkan deret giginya yang rapi dan mengangguk kegirangan. Terlampau girang.

Kenneth bangkit dari atas kasur. Mengambil jaketnya yang tergeletak di meja rias dan mengampitnya di sebelah lengan. "Aku pulang dulu," pamit Kenneth. Anneth masih terdiam di tempatnya.

Dengan langkah ringan, Kenneth kembali menghampiri Anneth dan mengecup keningnya lembut. "Kalau ada jadwal, bilang ke aku. Jangan buat aku nanya ke Arini, oke?"

Anneth tak menjawab. Ia tengah sibuk menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang dan baru dapat menghirup napas lega begitu Kenneth keluar dari kamarnya.

***

Aku sampai di set syuting sepuluh menit lebih awal dari jadwal. Diikuti Arini yang berjalan di sampingku, aku berjalan menghampiri Pak Produser untuk setor muka. Maksudnya agar Pak Produser tahu kalau aku telah ada di set.

"Udah sampai kamu?" tanya Pak Fahri, produserku begitu aku menampilkan wajah di hadapannya. Aku tersenyum simpul. "Baru saja, Pak."

"Ya sudah, sana kamu siap-siap. Kamu take kelima. Scene yang pertama bagian Revina." Aku kembali mengembangkan senyumku, mencoba untuk tak memperlihatkan rasa tak suka.

Ya, tentu saja. Revina yang disebut adalah Revina si rivalku. Memangnya, di dunia hiburan ini ada berapa Revina?

Hanya satu, tapi selalu saja meresahkan. Salah satunya dengan hadir sebagai pemeran utama--menggantikanku--saat aku terkena skandal. Untung saja hanya sementara. Aku bisa gila kalau kalah darinya.

Scandal |  ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang