20. Sebuah Rahasia (1)

Start from the beginning
                                    

Cuma Mutialah yang tahu rahasiaku dari kecil. Meski aku pernah menyebutkan nama Mas Pung tapi dia tak pernah tahu siapa nama lengkap lelaki yang kucintai dari kecil itu. Mutia juga cukup baik jadi penyimpan rahasia, jadi rahasiaku selama ini tak pernah terbongkar.

Kadang aku pura-pura membeli makan ke rumah Ibunya Mas Pung Mak Srimi, untuk membeli sarapan atau memang aku janjian dengan Arum adiknya. Aku memang berteman dengan Arum meski usia kami terpaut lima tahun. Namun aku jarang bertemu Mas Pung. Kalau aku pas pulang pondok dia gak dirumah, atau pas dia di rumah aku yang sudah balik pondok. Tapi saat kami sama-sama di rumah aku malah takut ke rumahnya. Aku malu kalau ketahuan curi-curi pandang.

Hatiku selalu berdesir saat mendengarkan suara adzan yang dilantunkan oleh Mas Pung. Suaranya merdu dan khas setiap subuh selalu menjadikan alarm bangunku saat aku ada di rumah. Beberapa kali Bapak juga mengutarakan kekaguman pada pemuda itu. Tentang ibadah sholat dan ngajinya yang rajin, prestasi di sekolah, tentang tata krama pada orang tua maupun tetangganya, dan itu membuat rasa kagumku makin menumpuk. Meski kami sangat jarang bertegur sapa, tapi diam-diam cinta ini tumbuh ibarat lumut yang tumbuh di bebatuan. Mustahil tapi nyata adanya.

Aku kaget saat keluarga Pak Rajak datang ke rumah untuk melamarku untuk anak lelakinya Sampurno. Tak dapat dipungkiri hatiku membuncah bahagia, bagaimana tidak lelaki yang selama ini kukagumi melamarku. Namum ketakutan juga melanda. Banyak pertanyaan yang belum bisa kutemukan jawabannya. Saat aku memastikan sendiri, Mas Pung meyakinkan kalau dia melamarku bukan atas paksaan. Meskipun aku merasakan ada sendu yang coba dia tutupi dari hatinya. Entahlah semoga keputusanku menerima pinangannya tepat.

Proses akad nikah digelar. Cukup satu bulan dari proses lamaran aku dan Mas Pung melangsungkan pernikahan. Di dalam kamar aku menunggu calon imamku mengucapkan ijab qobul. Ditemani dua saudara sepupuku Mutia dan Mbak Shena. Saat terucap kata SAH, hatiku membuncah bahagia. Tak hentinya syukur kuhaturkan pada Allah. Akhirnya aku bersanding dengan lelaki yang kucintai dan semoga mencintaiku juga.

Saat sampai di depan penghulu aku merasakan tangan Mutia yang menggenggam tanganku terasa bergetar. Dan di depanku Mas Pung terlihat menatapku dengan tatapan kaget dan terluka, ah entahlah kurasa bukan menatapku. Ada apa ini? Ada apa antara Mas Pung sama Mutia?

Saat penghulu menginterupsi kekakuan ini, kami baru menyadarinya. Aku meraih tangan suamiku untuk kucium. Dan ia mencium keningku dengan... Ragu? Entahlah mungkin karena ini yang pertama jadi canggung. Kecurigaan kecil ini kutepis begitu saja. Aku tak mau merusak momen bahagiaku.

Setelah acara selesai, semua saudara memberikan selamat kecuali Mutia. Kemana adik sepupuku itu? Awas saja ya nanti kalau dia menikah aku tak mau memberinya restu.

Acara nikahku memang dibuat sederhana mengingat kondisi tubuhku yang sakit. Tidak ada banyak tamu juga resepsi. Setelah semua acara selesai pas saat adzan zuhur berkumandang, kami masuk kamar untuk berganti baju dan melaksanakan sholat.

Setelah sholat dan istirahat sebentar kami memutuskan untuk keluar kamar dan makan siang karena cacing di perut meronta untuk diisi. Aku berusaha menjadi istri yang baik, kulayani suamiku, mengambilakn makan dan minumnya. Ucapan terimakasih dari bibir Mas Pung membuatku bahagia. Padahal hanya ucapan sederhana tapi kenapa di perutku seperti ada kembang kembang bermekaran? Ah jangan-jangan aku sudah jadi bucinnya Mas Pung.

Setelah makan aku mengajak suamiku berkenalan dengan semua sepupu. Semua memberikan ucapan selamat termasuk juga Mutia. Tapi kenapa wajahnya terlihat sendu?

"Ka, eh. Mas Pur Mbak Ayun selamat ya semoga jadi keluarga sakinah mawaddah warohmah. Rukun bahagia sampai jannah." Mengapa uvapan Mutia terbata-bata? Padahal biasanya gadis itu ceria meski termasuk pendiam kalau baru kenal. Tapi kalau sudah kumpul saudara biasanya dia jadi cerewet.

"Maturnuwun Dik Muti, aku seneng kamu bisa hadir. Eh iya suamiku juga lulusan Unnes lho. Apa kalian saling kenal? Lulusannya juga bareng deh kayaknya." tanyaku. Hal itu baru aku tahu tadi sehabis masuk kamar kami bincang-bincang sebentar. Baru kutahu ternyata dia satu kampus dengan adik sepupuku Mutiara.

"Ah, kenal kok. Tapi ndak dekat Mbak sebatas kenal. Ah iya Mbak, aku ke belakang ya, mau minum gorokanku garing. Dari tadi bercanda sama Mas Rasyid jadi haus." Belum sempat kujawab Mutia sudah pergi ke belakang. Aku seperti membaca raut terluka dari wajahnya. Karena apa? Tubuh Mas Pung juga menegang saat berhadapan sama sepupuku itu.

Apa yang mereka sembunyikan?

----

Mutiara

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Mutiara

Pur sama Ayun

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Pur sama Ayun.

Kamu tim siapa?

MUTIARANYA KANG PURWhere stories live. Discover now