15. Terminal Tirtonadi ninggal janji.

27 4 2
                                    

Itu mulmednya cuma buat pemanis.

Selamat membaca, jangan lupa vote ⭐ yak.

Maturnuwun sayangkuu❤️.

POV Mutiara.

----

Setelah acara pernikahan selesai, esok harinya aku dan Bapak Ibu memutuskan untuk pulang ke Rembang dengan naik bus. Dari keempat saudara Bapak, hanya Bapak lah yang tak memiliki mobil pribadi. Semua kakaknya orang berada. Namun dari mereka tidak ada yang sombong, bahkan saat Bapak jatuh dari jabatannya jadi lurah dan musibah yang menimpa Mbak Mala mereka semua tak hanya mambantu moril tapi juga materi. Alhamdulillaah memiliki keluarga yang baik itu juga salah satu nikmat tak terkira.

Bahkan saat kami memutuskan untuk naik angkot saja dari rumah Pakde Ramji menuju terminal, mereka melarangnya. Kami diantar ke terminal Tirtonadi dengan mobil pribadi Pakde. Kalian tahu siapa yang disuruh untuk mengantar kami? Kang Pur, iya dia akhirnya menawarkan diri untuk mengantarkan kami ke terminal. Ya Allah bagaimana aku bisa cepat move on kalau orang yang diam-diam kucintai adalah suami sepupuku, dan lagi kami sekarang harus duduk semobil. Untungnya Bapak memilih duduk di samping kemudi, aku duduk di belakang Kang Pur.

Kulihat sesekali ia masih mencuri pandang padaku, tetapi aku sebisa mungkin menghindari tatapannya. Namun sial hatiku ingin menghindari menatapnya tapi mataku sedari tadi mencuri curi pandang wajahnya lewat pantulan kaca spion. Sial mataku tak bisa diajak kompromi. Kang Pur juga melakukan hal yang sama. Ya Allah aku tak boleh terus melakukan ini, ini salah, aku akan menyakiti hati Mbak Ayun.

Tak sengaja tatapan kaki bertemu dari pantulan kaca spion sebelah kanan. Kenapa ia seperti tersenyum saat mencuri pandang? Aku jadi berpikir, apa ada sesuatu yang aneh di wajahku? Kenapa ia tampak tersenyum tapi tertahan, kadang tatapannya seperti tatapan orang bersalah, kadang seperti tatapan mengagumi? Apa cuma pikiranku saja yang aneh?

"Ndak nyangka saya Nak Pur yang jadi suami Ayun. Semoga pernikahan kalian langgeng, bahagia, bagas waras, kalis ing rubeda, nir ing sambikala." Doa Bapak untuk Kang Pur memecah keheningan di mobil ini. Jangan lupakan, sejak kapan Kang Pur bisa nyetir mobil? Dulu aku tak pernah melihatnya bisa mengendarai mobil beroda empat ini. Kenapa aku harus kepo? Bukan urusanku lagi. Mut jangan bodoh Mut, ayo move on. Aku bermonolog dalam hati.

"Aamiin, maturnuwun Pak Arif. Pangestune mawon."

"Aja ngono tah Nak. Panggile saiki ya Paklik to. Awakmu saiki dadi ponakanku. Wis paham to nek aku iki adike Mas Ramji? Mertuamu?"

"Nuwun sewu Paklik, kula dereng padoso paham. Yang saya tahu Bapak Kagungan sederek tiga jaler sedaya namung mboten nate nyangka nek Pak Arif niki Pakliknya Dik Ay...yun."

Hatiku tersentak. Ay, Ternyata mereka sudah punya panggilan sayang. Ah aku memang bodoh. Mbak Ayun itu perempuan dambaan semua lelaki, sikapnya baik dan santun, wajahnya cantik, dari keluarga kaya raya, taat beribadah dan seorang hafidzah. Sepupuku itu sangat mudah untuk dicintai. Termasuk Kang Pur.

"Oh iya, yen ora salah awakmu iki kancane Mutia sing pas ketemu ning wisuda mbiyen to Nang?" Aduh Buk, jangan ungkit lagi masalah itu. Nanti anakmu susah move on.

"Njih Bulik, leres. Kula rencange Muti. Kami dulu sama-sama kerja di minimarket."

Aduh duh Ya Allah Ya Robbi semoga perjalanan ini cepet sampai Ya Allah. Kasihanilah aku.

"Owalah gitu to. Eh Mut, kamu kok ndak bilang nek bojone Ayun iki kancamu to Nduk? Kok ya ket mau padha meneng meneng wae kaya wong ora kenal. Ora ilok ngono iku ya Nduk. Karo kanca iku nek ketemu paling ora ya nyapa. Aja dumeh saiki wis adoh wis ora awor kaya wong ora tau kenal." Ibuk menohokku dengan nasehatnya. Apa sikapku yang mencoba menjauh dan menghindari Kang Pur terlalu terlihat? 'Buk, anakmu mau move on Buk, bukannya sombong bukan cuek. Hiks.' Aku hanya berani mengucapkannya dalam hati.

MUTIARANYA KANG PURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang