21. Sebuah Rahasia (2)

22 3 3
                                    

Maaf baru bisa apdet ya. Habis lahiran anak ke empat Pas hari ibu tahun 2020 kemarin.

Rempongnya Emak-emak 4 anak cewek. Yang no 1 dan 2 sudah sekolah. Badan masih gak karuan habis lahiran tetep harus seterong dampingi anak BDR.

DUH rasanya seauatu pokoknya.

Duh jadi curhat. Hehe

Jangan lupa vote ⭐ yak. Gratis kok gak bayar . 😁❤️

Setelah sekian purnama baru update. Hampir saja mood nulis ilang sama sekali. Alhamdulillah bisa muncul lagi moodnya.

Hepi riding kawan.
----

Setelah menikah aku ikut suami tinggal di kota Semarang. Kehidupanku jadi lebih berwarna. Selama beberapa bulan kami menikah aku belum memberikan nafkah batin pada suamiku. Entah mengapa dia belum memintanya, padahal jika dia mau bisa saja memintanya padaku. Aku tahu kewajiban seorang istri. Saat kutanya kenapa dia tak meminta haknya, jawabnya fokus pada pengobatan kemoterapi yang sedang kujalani.

Aih aku kan jadi baper, ternyata suamiku perhatian juga.

Aku memang rutin melakukan kemoterapi setiap dua minggu sekali. Akibatnya rambutku banyak yang rontok, kulitku yang semula putih sekarang bertambah gelap warnanya, nafsu makanku sering turun. Berat badanku turun drastis. Kadang aku merasa rendah diri, tapi Mas Pung selalu menguatkan aku apapun keadaannya dia tetap sayang sama istrinya.

Cuma sayang ya? Ah mungkin itu cara suamiku mengungkapkan cinta. Toh tidak semua laki-laki bisa dengan mudah mengungkapkan rasa cintanya kan? Apalagi kami menikah tanpa pacaran. Apalagi pengorbanannya sebagai suami tidaklah mudah. Dia harus membiayai kuliah S2 nya, mengajar, merawatku yang sakit, menemaniku kemoterapi dengan biaya yang tidak sedikit. Meski kadang orangtuaku ikut membantu tapi aku tahu pengorbanan Mas Pung sangat besar.

Selain biaya, dia harus merawatku yang sering mutah sehabis kemo. Dia tak pernah menampakkan raut wajah jijik saat aku mutah, juga pada tubuhku yang ringkih, kulit menggelap dan rambut makin tipis ini. Selalu menguatkan aku saat aku terpuruk dan kadang mau menyerah menjalani kemo.

Suamiku meskipun bukan seorang hafidz tapi dia rajin mengajakku semakan ngaji Qur'an sehabis sholat subuh. Kami gantian, menyimak hafalanku dan dia ganti nyetor hafalannya yang makin bertambah. Aku kagum sama Mas Pung, diantara kesibukannya dia masih menyempatkan menghafal kalam Allah.

Saat kutanya kapan dia menghafal ayat demi ayat itu. Jawabnya, "Kadang Pas jam istirahat Dik, Mas selalu menyempatkan menambah hafalan. Atau kalau pas sibuk banget Mas selalu curi-curi waktu. Mas malu Dik sama kamu. Kamu aja hafal Qur'an mosok Mas yang kepala rumah tangga gak mau usaha menambah hafalan. Bantu Mas terus ya Dik, supaya Mas juga bisa jadi hafidz kayak kamu. Biar kita bisa sama-sama bisa masuk ke jannahNya."

Aku langsung menghambur memeluk suamiku dengan rasa haru yang membuncah sambil meneteskan air mata. Tak kusangka suamiku punya niat yang mulia.

Itu artinya Mas Pung sayang sama aku kan?
Dugaanku benar kan? Semoga iya.

Setelah enam bulan pengobatan Alhamdulillah aku dinyatakan sembuh dari kanker. Rasa syukur dan haru tak terbendung merasuk ke dalam jiwaku. Doaku, doa suami dan keluargaku diijabah Allah. Sore itu sepulang dari rumah sakit kami langsung pulang ke Solo.

"Mas, mana obat dari dokter tadi? Katanya mau dibawa ke Solo."

"Oh, tadi tak taruh di meja kerjanya Mas. Tolong ambilkan ya Ay, sekalian ambilkan buku pesenan Arum ya. Tak taruh di amplop warna coklat di laci meja paling bawah."

"Njih Mas Pung."

"Maturnuwun Bojoku." Jawab Mas Pung mengerling manja sambil mengemasi baju dalam koper. Ish bisa genit juga kamu Mas, bikin aku makin bucin.

MUTIARANYA KANG PURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang