19. Promil

31 3 0
                                    

"Mas Pur, apa kabar? Masih ingat saya to Mas?"

Deggg. Bagaimana aku lupa denganmu? Dulu kukira kau kekasih Mutiara, kau yang membuatku patah hati. Ternyata prasangkaku salah besar, dan sekarang aku harus kehilangan Mutiara. Malah ternyata sekarang kita jadi saudara.

"Alhamdulillaah kabar baik Mas Dika. Kapan sampai Mas?" Kami bersalaman dan berpelukan ala lelaki.

"Tadi Pagi Jam sepuluh sampai sini. Kebetulan kemarin saya mengantar Bapak Ke rumah Eyang di Klaten. Sekalian mampir sini, karena dapat kabar dari Pakde Ramji kalau Mbak Ayun sudah sehat. Oh iya selamat atas pernikahannya, maaf dulu nggak bisa datang Mas." Aku mengangguk dan tersenyum simpul memaklumi kondisi Mas Dika dan Mbak Mala yang tak bisa hadir di pernikahanku waktu itu.

Begitu melihat mertua Mas Dika yang juga Bapaknya Mutia, aku dan Ayun langsung menyapa, mencium tangan beliau.

"Piye Nduk, wis sehat awakmu? Maaf ya Nduk, Paklik ndak bisa jenguk kamu di rumah sakit."

"Alhamdulillaah kabar Ayun sae Paklik. Ndak papa, Ayun tahu Paklik sibuk, pangestunipun mawon supaya Ayun selalu sehat. Oh iya titip salam kagem Bulik, Dik Mala sama Dik Mutia." Meski usia Ayun lebih muda dari Mbak Mala dan Mutiara tapi kebiasaan unggah ungguh di keluarga ini selalu ditekankan. Bukan usianya tetapi berdasar urutan 'pernah tuwa' itu berdasar turunan dari orangtua mereka. Karena Bapak mertuaku lebih tua dan Paklik Arif lebih muda tapi putra Paklik tetap harus memanggil sepupu mereka berdasar urutan persaudaraan dari orangtuanya.

"Iya, nanti Paklik sampaikan salammu buat adikmu sama Bulikmu."

"Oh nggih Paklik. Dek Dika piye kabare Dek Mala? Sudah mau lahiran ya? HPLnya kapan Mas? Masih suka ngrepotin Dek Muti ndak?"

Mas Dika tersenyum simpul. "Sekarang sudah nggak manja sih Mbak. Tapi trimester awal Mutia kewalahan terima reques bumil yang aneh-aneh. Ada aja yang harus Mutia masak. Benar-benar ndak mau makan kalau ndak masakannya Mutia. Untung adiknya sabar dan pinter masak."

"Wah ngidamnya sampek parah gitu ya Dek."

"Iya, malah pas ditinggal kesini pas nikahan kalian dia ngambek ndak mau makan. Gara-gara minta sayur lompong tapi waktu tak masakin katanya rasanya ndak enak. Wah saya sampek kelimpungan minta tetangga masakin supaya persis seperti masakan Mutia." Mas Dika geleng-geleng dan tersenyum mengingat kelakuan istrinya saat ngidam.

"HPL kata dokter satu bulan lagi Mbak. Doakan semoga lahirannya lancar, selamat ibu dan bayinya ya."

"Aamiin." Kami semua mengaminkan permintaan doa Mas Dika.

Acara makan pun berjalan dengan akrab dan penuh kekeluargaan.  Setelah makan rencananya adalah acara tasyakuran untuk kesembuhan istriku. Acara yang sederhana tapi penuh hikmat itu dihadiri oleh anak yatim sekitar lima puluh anak, para lansia juga orang tidak mampu di dan tetangga dekat rumah kami. Acara ditutup dengan bacaan doa dipimpin oleh Pak Kiai dari pondok pesantren tempat Arum menimba ilmu.

Setelah doa bersama, para tamu dipersilakan makan hidangan yang disediakan. Setelah itu kami membagikan santunan untuk anak yatim, lansia dan para dhuafa di lingkungan kami. Pulangnya mereka juga mendapat nasi berkat.

Pukul setengah empat acara selesai. Setelah tamu undangan selesai kami bergegas sholat berjamaah di mushola rumah. Paklik Arif dan Mas Dika juga berpamitan pulang ke Rembang. Aku dan Mutia juga berangkat untuk periksa ke dokter kandungan sesuai rencana kami tadi pagi.

----

Setelah mendaftar dan melakukan pengecekan tekanan darah dan menunggu kurang lebih 20 menit akhirnya Ayun dipanggil masuk ke ruangan dokter kandungan. Dokter Dinda Larasati, SpOG.

MUTIARANYA KANG PURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang