20. Sebuah Rahasia (1)

32 3 0
                                    

Pov Ayuni

Apa yang akan kamu lakukan ketika kamu merasakan sesuatu yang tak beres terjadi di tubuhmu? Mudah lelah, sering mimisan bahkan pingsan. Awalnya aku kira itu hal biasa. Sampai suatu sore aku ditemukan pingsan di dapur pondok saat membantu memasak untuk keluarga ndalem. Aku memang tetap melanjutkan mondok setelah lulus Aliyah untuk mengabdi di keluarga pondok menjadi abdi ndalem sekaligus mengamalkan ilmu menjadi pengajar di sana.

Itu adalah pingsan yang kesekian kalinya. Maka Pak Kiai dan Bu Nyai sudah tak mau lagi menyimpan rahasia sakitku pada Bapak Ibu. Entahlah saat aku bangun dari pingsanku aku sudah berada di ruangan serba putih dan bau obatnya yang menyengat. Dan saat aku membuka mata sudah ada kedua orangtuaku yang menangis, haru atau sedih aku belum begitu sadar.

Namun saat kutanya ada apa mereka menangis, mereka hanya diam dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Meski aku merasa ada sesuatu yang mereka tutupi tentang penyakitku. Setelah kudesak sedemikian rupa, akhirnya mereka jujur tentang penyakitku yang ternyata penyakit sangat serius.

Rasanya langit runtuh kala itu, duniaku hancur karena satu kata "leukimia". Ya! Aku menderita leukimia stadium awal. Meskipun masih stadium awal aku yang awam akan ilmu kedokteran, jiwaku sangat terguncang karena berita itu.

Sudah lama aku memang merasakan sesuatu yang aneh pada tubuhku, saat aku jadi sering mimisan, pusing dan sering pingsan jika terlalu lelah. Namun aku selalu meminta teman-teman serta Pak Kiai dan Bu Nyai agar tidak memberitahu orangtuaku, karena ku pikir penyakit ini biasa saja.

Karena penyakit ini, akhirnya Bapak Ibu memutuskan aku untuk boyong dari pondok agar mereka bisa lebih menjagaku dan memberikan pengobatan yang baik.

Seminggu awal aku yang masih terguncang seperti kehilangan arah. Aku banyak berdiam di kamar bahkan makan saja kadang diantar ibuku ke kamar, juga aku menolak berobat. Bagiku berobat hanyalah kesia-siaan karena setahuku leukimia tak ada obatnya. Satu satunya tempat paling nyaman tempat aku curhat yaitu menulis di buku diary. Buku yang biasanya hanya aku isi saat aku pulang ke rumah. Kalau di pondok aku tak bisa membawanya, bisa-bisa diambil petugas keamanan pondok.

Entah ini suatu musibah atau nikmat. Ibuku menemukan diaryku tergeletak di meja. Dan beliau membaca isi bukuku. Padahal di sana ada seseorang yang selalu mengisi lembar demi lembar buku diary merah muda itu.

Dia Mas Pung, pemuda yang baik hatinya, rupawan parasnya. Yang bisa membuat pipiku merona hanya dengan menyebut namanya. Membuatku berdebar hanya dengan melihat senyumnya dari jauh. Dan membuatku terpukau mendengar suara adzannya. Katakanlah aku lebay, ya memang sedalam itu aku mencintainya dalam diam. Mungkin diantara kalian ada yang pernah mengalaminya? Nah seperti itulah rasanya.

Aku tak tahu kapan aku mulai mengagumi pemuda itu. Mungkin dulu saat dia menolongku terjatuh di sawah penuh lumpur. Aku yang saat itu masih berusia 10 tahun selalu senang berpetualang. Percaya atau tidak masa kecilku agak tomboy, itu karena aku sering bermain dengan Mas Yudha. Jadi jangan salahkan aku yang suka main sepak bola, main petak umpet, main layangan sampai mengejar layangan putus sampai ke Desa sebelah juga pernah. Hasilnya kalau pulang pasti Mas Yudha kena jewer Ibuk, hihiii sebenarnya aku kasihan sama Masku satu itu. Sebelum main memang Ibu sudah mengingatkan kami jangan main jauh-jauh. Jadi kalau ibu khawatir karena kami pulang saat surup (senja hampir maghrib) pastilah yang jadi sasaran kemarahan Ibu ya Mas Yudha. Padahal aku juga bandel disuruh pulang dulu nggak mau, malah ikut main sama temennya Masku yang ganteng itu meski semua lelaki. Padahal temen Mas Yudha itu usianya jauh diatasku, mereka rata-rata sudah SMP kelas 2 dan 3.

Setelah kejadian Mas Pung menolongku saat jatuh dari sepeda ke dalam lumpur aku tak bisa menghilangkan pikiranku tentang anak laki-laki yang usianya 2 tahun diatasku itu. Aku sampai diledek sama Mutia karena kecil-kecil kok sudah jatuh cinta. Dari dulu aku dan Mutia sangat dekat. Meski rumah kami jauh tapi keluarga Bapak sering mengadakan pertemuan keluarga minimal dua kali setahun. Semua saudara sepupu dari Bapak sangat akur dan pasti heboh kalau sudah kumpul. Mas Yudha sama Mas Rasyid pastinya akan jadi orang yang paling rame dan paling usil. Syukur sekarang mereka sudah ketemu pawangnya, jadi kalau mereka kumat dengan keusilannya akan ada yang nyubit perut atau menjewer telinga mereka. Iya pawangnya ya para istri, mereka kan raja bucin, hihiii. Tapi aku bahagia memiliki keluarga dan saudara mereka.

MUTIARANYA KANG PURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang