MELLIFLUOUS

630 27 6
                                    

Rintik hujan membasahi sebagian isi bumi, awan kelabu semakin pekat terlihat. Hampir dua jam aku meringkuk di bawah selimut tebal yang menutupi tubuhku, rasa dingin semakin menusuk kulit saat kedua kakiku menyentuh dinginnya lantai kamar. Suara mami terdengar samar bersahut-sahutan dengan hujan sore ini. Aku terpaksa keluar kamar untuk memastikan jika mami memanggilku.

"Mi, mami manggil aku?" Aku menuruni setiap anak tangga dengan malas. Hawa sejuk sekeliling rumah membuatku malas untuk bergerak, ditambah lagi dengan hujan yang tak kunjung berhenti sejak tadi. Rasanya aku ingin kembali ke singgasanaku untuk melanjutkan mimpi.

"Kebiasaan, mami panggil-panggil gak pernah nyaut. Mami lagi repot kak, itu adik kamu berantem lagi." Aku mengambil napas panjang melihat adikku Juno sedang merintih menahan sakit. Sudah ke tiga kalinya dalam sebulan ini adikku terlibat dalam perkelahian dengan teman sekolahnya. Aku dan mami sangat sering mendengar keluhan dari orang tua murid yang menjadi korban kenakalan adikku.

"Biarin ajalah mi, aku capek nasehatin dia. Jiwa-jiwa preman susah buat di ajak bener." Aku melengos pergi tak menghiraukan tatapan mami yang menajam. Mami terlalu memanjakan Juno, padahal berkali-kali aku mengingatkan jika Juno itu perlu diberi hukuman. Namun mami selalu mengatakan "kita tidak bisa menghakimi siapapun, kita tidak pernah tau apa yang terjadi dengan Juno." Baiklah, jika kalimat itu sudah keluar dari mulut mami, itu artinya aku tidak punya alasan lain untuk membantah.

Perkenalkan, namaku Shania Andrea Arthawidya, dua puluh tahun hidup di Jogjakarta dengan segala aturan yang membosankan. Ibuku seorang single parent sejak aku berumur tiga belas tahun. Wanita paruh baya yang berjuang membesarkan kedua anaknya dengan penuh cinta, kami memanggilnya mami Veranda Kiania. Beliau lahir di Jakarta menikah dengan romo saat berumur dua puluh satu tahun. Romo orang Jogjakarta asli, dan mami adalah wanita modern blasteran Indonesia Portugis. Aku mempunyai seorang adik laki-laki bernama Juno Andrea Abrisam. Umurnya lima belas tahun tapi kelakuannya seperti bocah TK yang manja.

Romo meninggalkan kami bertiga karena sakit jantung yang di deritanya. Sebagian orang bertanya-tanya kenapa aku dan Juno memanggilnya romo bukan papi, itu semua keputusan kedua orang tua kami yang berbeda adat. Romo dengan adat jawanya yang kental dan mami dengan khasnya yang ke barat-baratan. Sesuai amanat romo, kami tidak boleh meninggalkan tanah kelahiran kami yaitu kota istimewa Jogjakarta.

Hidup kami terbilang cukup mewah dengan rumah besar yang romo tinggalkan dan juga beberapa property lain yang diwariskan kepadaku dan Juno.

"Shaniaaa!" Suara cempreng melengking itu milik budhe Iswari, kakak romo yang tinggal bersama kami.

"Iya budhe." Aku menghentikan langkah ketika budhe Is menyembulkan wajahnya di balik pintu.

"Bener-bener ya kamu, anak gadis joroknya minta ampun. Ini baju sudah seminggu budhe liat masih ngegantung di pintu." Seperti biasa budhe Is selalu memeriksa kamarku setiap dua hari sekali. Sudah pasti mamilah yang menyuruhnya, mami tidak pernah tega untuk memarahiku. Mami hanya menggertak, menakut-nakutiku sedemikian rupa.

"Maaf, budhe. Shania lupa. Hehe " Aku kembali merebahkan diri, memperhatikan budhe Is yang sedang melipat baju.

"Kamu tuh masih muda kok udah pelupa sih, nduk. Sekali-kali kamu harus belajar mandiri. Gak selamanya budhe ada di samping kamu, begitupun dengan mami kamu." Budhe Is terus menasehatiku dengan logat jawanya. Di usianya yang sudah hampir lima puluh tahun, budhe Is belum juga di karuniai seorang anak. Budhe Is tidak seperti mami yang lemah lembut, meskipun budhe wanita jawa namun sisi lainnya yang tegas selalu mendominasi. Budhe Is sudah seperti ibu kandungku, setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah titah yang tidak boleh di langgar. Budhe kerap memarahiku, katanya itu perhatian dalam bentuk teriakan. Lucu sekali budheku ini.

ONESHOOTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang