Desember Terakhir

480 21 16
                                    

Hari itu memasuki Desember tahun pertama ke pindahannya di kota yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Kota kecil yang jauh dari bisingnya kendaraan. Sejauh mata memandang hanya pepohonan dan pesawahan terbentang luas memanjang. Kiri dan kanan rumahnya di penuhi oleh tanaman yang tumbuh subur. Daerah pedesaan yang asri membuat Veranda betah namun juga merasa kesepian. Di tempat tinggalnya dulu, ia terbiasa dengan jalanan yang ramai oleh orang-orang berlalu lalang, suara klakson yang memekik telinga, dan suara makian dari manusia yang berebut mencari jalan lengang. Kadang Veranda rindu itu.

Namanya Veranda Arindra, wanita berusia dua puluh tiga tahun yang hingga detik ini masih menyandang status single, padahal parasnya cukup cantik jika di bandingkan dengan dewi nawang wulan. Bagaimana tidak, tubuhnya tinggi semampai, rambutnya panjang tergerai, wajahnya ayu lengkap dengan matanya yang teduh dan tatap hangat pada sorotnya. Lengkung bibirnya menambah kesan manis, dan kecintaannya terhadap buku membuat kecantikannya sebanding dengan ketajaman otak yang ia miliki.

Veranda adalah anak tunggal, sepi dan sendiri selalu menjadi teman karibnya sejak dulu. Kepribadiannya yang tenang mampu menutupi sebagian kesedihannya. Ia tak masalah jika kedua orang tuanya sering meninggalkannya sendirian di rumah, itu adalah makanan sehari-hari untuknya. Hanya membaca buku, menonton siaran televisi atau bermain di halaman rumahnya, semua kegiatannya berulang ia lakukan. Bohong jika ia tidak merasa bosan, sesekali Veranda ingin pergi berkeliling desa namun ia terlalu malu. Rasa percaya diri yang kurang membuatnya mengurungkan niat untuk menjelajah kota ini.

.

.

Suara mesin motor dari arah luar membuat Veranda menghentikan sejenak aktivitasnya, ia menutup novelnya lalu bergegas menyambut ayahnya. Langkahnya riang dengan senyuman kecil yang selalu ia perlihatkan pada sosok pria bertubuh tegap yang ia panggil dengan sebutan papa. Sesampainya di depan pintu ia langsung memutar knop, menahan pintu dengan sebelah tangannya yang mendadak kaku. Senyum kecilnya menghilang kala yang ia temui bukanlah papa tercintanya melainkan seseorang yang seumuran dengannya.

Kedua bola mata Veranda memandang lekat pada lelaki bertopi biru. Dalam hatinya ia mengingat tetangga yang pernah mengunjunginya, namun tak ada wajah ini di ingatannya.

"Iya ada apa ya mas?" Ucap Veranda dengan tatapan bingung.

"ini benar rumahnya pak Yosef?"

"iya betul. Ada keperluan apa ya dengan papa saya?"

"saya di suruh nganter ini sama pak kepala desa."

Veranda menerima amplop coklat bertuliskan nama ayahnya disisi kiri.

"kebetulan papa saya masih di kantor, nanti saya sampaikan pada beliau."

"Baik, terima kasih mbak."

"Sama-sama mas."

Veranda menutup pintu tanpa menoleh lagi ke arah lelaki tadi. Lelaki itu bernama Devan, seorang anak kepala desa yang baru saja pulang dari kota.

Devan tersenyum menatap rumah sederhana yang tampak sepi pemiliknya.

.

.

Selepas makan malam, Veranda duduk sebentar di halaman rumahnya. Rumahnya kini hanya satu lantai, tak ada balkon tempat ia memandang langit biru kesukaannya atau menghitung bintang ketika ia jenuh, yang ada sekarang hanya kursi rotan dan bangku-bangku kecil yang di tata rapih di halaman rumahnya. Namun tak apa, rumah yang ia tempati sekarang tak kalah nyaman dari rumah-rumah sebelumnya.

"Sayang, jangan lama-lama di luarnya ya, nanti masuk angin." Mama Veranda menyapa sekaligus mengingatkan agar putri kesayangannya lekas beristirahat.

"Iya ma, bentar lagi Ve masuk."

ONESHOOTWhere stories live. Discover now