SOLITUDE

5.9K 131 37
                                    

Gadis cantik tanpa busana itu terbangun, mengusap wajahnya yang tampak lelah dengan kantung mata yang kian menebal. Tidurnya terganggu oleh tirai jendela yang terbuka lebar, bias matahari masuk membuat matanya menyipit akibat cahaya terang yang memenuhi kamarnya.

"Pagi kak." Gracia berdiri diantara jendela besar, menyibak satu persatu tirai jendela milik kakaknya.

"Hemm, ada perlu apa kamu ganggu kakak sepagi ini?" Suara serak Shania tetap terdengar dingin di telinganya. Pandangan Gracia merayapi lantai kamar yang penuh dengan tumpukan buku serta pakaian yang sengaja Shania biarkan tercecer. Gracia selalu seperti ini tak pernah mau menatap mata kakaknya. Ketakutan tercipta sedemikian rupa, saat kakaknya menghancurkan diri dengan goresan kaca di lengannya atau menelan pil tidur dengan dosis tinggi, itu adalah sebuah bukti nyata di depan matanya. Kakaknya terluka sebegitu hebatnya dan Gracia tak bisa melakukan apapun untuk sekedar menghiburnya.

"Gre.. Gre disuruh mama bangunin kakak." Ucapnya terbata, Gracia memilin ujung seragam putih abu yang membalut tubuhnya. Berhadapan dengan kakaknya lebih mendebarkan di banding ia ketahuan menyontek saat ujian.

"Lima belas menit lagi kakak turun. Sekarang kamu keluar." Gracia mengangguk kaku, kemudian tubuhnya hilang dibalik pintu.

Shania bangkit dari kasurnya yang nyaman, melangkah dengan malas karena kesadarannya belum terkumpul sepenuhnya. Pakaiannya berserakan di lantai, tas dan juga handphonenya ia biarkan tergeletak di atas sofa kecil kamarnya. Berapa puluh panggilan yang masuk ke handphonenya tak sekalipun ia gubris. Shania sibuk bersenandung kecil memenani langkahnya menuju kamar mandi.

Selang dua puluh menit, kamarnya kembali di ketuk oleh suara yang sudah sangat Shania kenali.

"Non, non Shania. Bangun, non. Ibu sama bapak nungguin." Suara asisten rumah tangga yang setiap pagi membangunkannya. Shania tak menjawab, ia enggan membukanya. Lagi pula Shania sudah paham, setiap pagi dalam hidupnya adalah hal terberat yang harus ia lalui. Mendengar petuah sang mama selama bermenit-menit, dan mendengar omelan dari papanya yang selalu membanding-bandingkannya dengan anak tetangga sebelah. Shania muak dengan hidupnya. Jika boleh Shania ingin hidup bebas sehari saja, tanpa tekanan dari siapapun. Ia butuh sesuatu untuk melampiaskan stress yang sudah di ubun-ubun. Dua puluh dua tahun ia berada di dunia yang tak adil ini, hidupnya monoton penuh bayang-bayang kedua orang tuanya.

Setelah selesai membersihkan diri dan juga mempoles wajahnya dengan makeup tipis, Shania memaksakan kakinya untuk melangkah menuruni anak tangga. Terlihat kedua orang tuanya sedang menikmati sarapan pagi dengan tenang. Hanya ada suara Gracia yang sedang berceloteh tentang pengalamannya duduk di bangku SMA.

Shania Junianathan anak pertama dari dua bersaudara. Mempunyai satu adik perempuan bernama Shania Gracia. Usianya 16 tahun, menyukai warna ungu dan memiliki phobia terhadap gelap.

"Pagi ma, pa, Shania sarapan di kantor aja ya, udah telat." Tanpa menunggu jawaban apapun, Shania segera meninggalkan ruangan yang selalu membuat moodnya berantakan. Shania selalu menghindari yang namanya duduk bersama berhadapan dengan kedua orang tuanya.

"Papa jodohin kamu dengan anak temen papa. Nanti malam acara pertunangan kamu." Langkah Shania terhenti, ia tertegun mencerna kata yang baru saja terucap dari mulut papanya.

"Dia pria yang baik. Papa tidak mungkin memilih orang sembarangan untuk putri papa." Urat leher Shania menyembul, tangannya mengepal hebat hingga kukunya memutih sebagian. Dada Shania ikut bergemuruh, mengatur napas seirama dengan detak jantung yang semakin kencang.

Shania masih tak bergeming, kesadarannya di renggut paksa oleh tiap penggal kata yang membuat duka. Setiap detik usianya seakan berkurang, semakin Shania diam semakin kematian terasa dekat dengannya.

ONESHOOTWhere stories live. Discover now