Berkabut luka, berselimut duka

1.2K 49 22
                                    

Suara jutaan butir air jatuh menghujam bumi, hujan deras sore ini membuat Shani murung. Tangannya pelan menyentuh kaca yang berembun, di susul oleh helaan napas panjang yang dihembuskan secara perlahan. Rambut panjangnya ia ikat begitu saja hingga anak rambutnya berjatuhan menghalangi pandangan. Kulit putihnya kontras terlihat saat ruang redup dan hanya memantulkan cahaya lampu dari arah luar. Lampu berwarna kuning temaram melintas menyentuh wajahnya, sendu terlihat dengan jelas saat air matanya mulai menggenang.

"Boby...," Shani berkata lirih sambil menyeka sudut matanya.

"Kamu selalu keliatan gagah, jadi stop melototiku." Ucap Shani pada sebingkai foto.

"Tadi pagi aku sama kak Veranda berdebat lagi soal jaket hitam yang tergantung di lemariku. Aku bilang padanya, kalo ini jaket dari kamu. Aku gak bolehin dia minjem jaket ini. Khusus jaket pemberian dari kamu aja, kalo yang lainnya silahkan mau di pinjem, dipake juga." Shani tersenyum disela tangisnya. Jemarinya yang dingin mengusap wajah tampan yang sedang tertawa dengan lesung di kedua pipinya.

"Aku rindu kamu. Sudah sepuluh hari kamu ninggalin aku. Setiap hari yang ku lalui rasanya berat, seperti sekarat menunggu kematian yang begitu dekat." Lirihnya dalam tangis.

Tubuh itu luruh ke lantai, menangis dalam ruang-ruang sepi. Kelopak matanya kembali basah sama basahnya seperti tanah pemakaman Boby.

Sepuluh hari lalu Shani mengantarnya kepergiannya yang tak pernah kembali. Pembaringan terakhir yang penuh damai. Boby terlelap dalam tidur panjangnya usai perjalanan tangguhnya mengusir sakit dalam senyap kehidupannya.

Flashback On.

"Kak!" Shani melambaikan tangan saat mobil kakaknya melintas. Tanpa instruksi Shani masuk dengan wajah merengutnya.

"Lama banget jemputnya, aku hampir sejam nungguin kakak tau gak."

"Maaf, hehe. Tadi habis ketemu Kinan dulu bentar."

Shani tak menjawabnya, tangannya sibuk memasang seat belt. Kemudian beralih pada ponselnya. Hanya membalas pesan dari teman kerjanya, setelah itu ia menyimpan kembali ponselnya.

"Kak, besok aku gak usah di jemput ya. Aku mau nonton dulu sama Gracia." Veranda mengangguk dengan pandangan lurus menatap jalanan.

Shani dan Veranda adalah dua kakak beradik yang mempunyai kesamaan dalam pembawaan ataupun sifatnya. Keduanya punya wajah yang cantik, tubuh proporsional, dan mereka sama-sama menyukai ketenangan.

Veranda adalah owner dari butik yang belakangan ini sedang ramai diperbincangkan karena karya-karyanya mampu menembus pasar luar. Sedangkan Shani adik satu-satunya yang baru saja lulus dari salah satu universitas ternama negeri ini.

Gelar, pangkat, status semua itu tak penting menurut Shani. Apalah artinya semua itu jika hidupnya sama sekali tak merasa bahagia. Kedua orang tuanya pebisnis kenamaan yang hampir penjuru negeri ini mengenalnya. Maka diantara teman-teman Shani khususnya, mereka tak percaya jika Shani adalah anak orang kaya. Shani tak menunjukan siapa dirinya dengan pakaian yang modis, kendaraan yang mewah atau teman-teman sosialatanya. Ia kerap berjalan kaki atau menjadi penumpang taksi online.

Berbanding terbalik dengan Veranda yang selalu menampakkan kesan glamour. Selain tuntutan pekerjaan apa yang Veranda kenakan akan menjadi sorotan.

Beberapa teman Shani selalu menanyakan hal yang sama, seperti kenapa gak mau bawa mobil? Kenapa selalu minta di jemput kakak lo, kan mobil lo banyak, kan ada supir dan sebagainya. Benar, tidak mungkin bagi Shani tak memiliki semua itu, ia bahkan punya dua mobil pribadinya. Namun Shani sama sekali tidak berminat untuk membawanya untuk sekedar berjalan-jalan atau berangkat bekerja. Shani akan meminta supirnya mengantarnya dan saat waktunya pulang kerja Shani akan merengek minta jemput pada Veranda. Bagi Shani membawa mobil sendirian itu menakutkan, belum jika macet atau terjadi sesuatu pada mobilnya. Shani lebih baik meminta jemput pada supir dan kakanya saja, jika memang keduanya tidak bisa barulah ia akan menyewa taksi.

ONESHOOTWhere stories live. Discover now