"Ta, drum lo nggak dibenerin?" tanyaku sambil memencet tuts organ yang baru saja selesai Genta rangkai.
"Nggak ah. Entar rusak lagi," katanya.
"Ya ampun, kekanakan banget sih lo. Patah hati aja sampai rusak barang," ejekku. Kutekan tuts demi tuts hingga tanpa sadar membentuk irama intro Everything's Not Lost.
"Tau apa sih lo tentang cinta?" tanya Genta yang tengah menaruh gitar pada tatakan. Aku mencebik. Genta benar, aku kan tidak pernah merasa patah hati.
"Coldplay ya?" tanyanya yang mengenali instrumen yang kumainkan. Aku bergumam mengiakan.
"Tunggu-tunggu," ujar Genta yang membuatku stop memainkan piano elektrik ini. "Gue gitarnya ya. Wait," katanya dan langsung mencolok ampli pada gitar listrik yang baru saja ditaruhnya.
Bongkar-bongkar barang hari ini menjadi tertunda karena aku dan Genta yang malah asyik jamming lagu-lagu Coldplay. Kami berdua sangat suka Coldplay. Band asal Inggris itu menemani masa pertumbuhan kami sejak masih anak-anak hingga kini sudah hampir kepala tiga. Aku masih ingat saat beberapa tahun lalu band itu tur ke Singapura. Aku dan Genta baru mendapat tiketnya H-7 dari tanggal konsernya. Tanpa berpikir panjang, kami langsung mengambil cuti dadakan untuk menonton Chris Martin bernyanyi secara langsung.
"Ta, gue penasaran deh gimana bisa orang jadi bego karena cinta?" tanyaku saat kami selesai jamming Clocks, lagu favoritku dan Genta.
Genta tertawa lalu menjawab santai. "Nanti, Ne. Saat lo udah benar-benar nemuin the one, saat lo udah benar-benar jatuh cinta, akal sehat lo bakal kalah sama hati lo," jawabnya.
"Cliche ah jawaban lo," kataku tak puas dengan jawaban yang diberikan Genta.
"Ya gimana dong? Menjelaskan tentang cinta ke orang yang nggak percaya cinta tuh susah, Ne."
"Genta, gue bukan nggak percaya cinta. Tapi emang cinta-cinta yang gue rasakan selama ini tuh nggak membuat gue buta dan kehilangan akal sehat. Kayak biasa aja gitu loh. Bukan sesuatu yang spesial dan menggebu-gebu," kataku.
"Karena apa yang lo rasakan selama ini tuh bukan cinta tapi nafsu," ujar Genta. Aku bergeming, tidak menyanggahnya.
"Buka hati kalau lo mau merasakan cinta. Masa lalu yang nggak enak dijadikan pembelajaran, jangan dijadikan penghambat atau alasan lo untuk nggak percaya cinta. Lo itu cantik, Ne. Lo sukses, cerdas, serba bisa. Tipe ideal laki-laki lah. Gue yakin seribu yakin, banyak kok yang suka lo. Sayang aja, semua gugur karena lo yang terbelenggu sama rasa takut lo," lanjutnya.
Aku menatap Genta. Pria itu masih sibuk dengan gitarnya, masih asyik memetik-metik senarnya.
"Pun nanti gue jatuh cinta, rasanya gue nggak tertarik hidup berkeluarga deh, Ta," kataku. "Ribet. Banyak drama."
Genta tertawa. Pria itu kini menaruh gitarnya lalu mematikan amplinya. Ia menatapku dengan tatapan tak habis pikirnya. "Ya gue nggak bisa menyalahkan prinsip lo sih, Ne. Tapi prinsip seseorang yang kayak gitu bisa berubah ketika udah menemukan tambatan hatinya. Emang dulu gue nggak kayak lo?"
Aku ganti tertawa. Dulu Genta juga berprinsip sama sepertiku. Genta merasa tidak mau hidupnya terbagi dengan orang lain. Ia ingin menikmati hidupnya sendiri dengan karier gemilang dan materi yang berlimpah. Ia tidak senang dikekang dan harus mencurahkan perhatian pada orang lain. Semua berubah kala Genta tiba-tiba saja jatuh cinta dengan Karen. Entah bagaimana bisa dua insan yang kala itu bersahabat, tiba-tiba saling jatuh cinta.
"Udah lah, Ne. Nanti lo juga akan ngerti. Asal lo buka hati dan ga menutup diri."
***
Aku suka sekali dengan kamarku, terlebih furniturnya. Nuansa kayu mendominasi ruangan bercat beige ini. Lantainya kamarku bukan terbuat dari keramik, melainkan dari lapisan kayu yang entah bagaimana disusunnya sehingga menjadi apik bagai bongkahan kayu sungguhan. Terdapat lemari kayu berwarna putih yang menyambung dengan meja rias. Meja riasnya cukup besar dengan kaca yang dikelilingi lampu putih. Kamar ini diberikan pencahayaan warna warm white yang dipancarkan satu lampu di tengah plafon dan dua lampu dinding yang terletak di kanan dan kiri ranjangku. Semua membuat kamar mungil ini terasa mewah dan begitu nyaman untukku. Genta baik sekali sudah mengatur sedemikian rupa agar aku bisa betah dan nyaman di rumah ini.
"Ne, Ane," panggil Genta dari luar kamarku. Belum kujawabnya, ia lebih dulu membuka pintu kamarku.
"Bantuin gue dong," katanya menyengir lebar.
"Kenapa?"
"Gue belum pasang lampu teras ini. Bantuin dong," pria itu menunjukkan kotak lampu yang masih tersegel rapi di tangannya. Aku mendengus malas, baru juga aku menikmati kamar baruku.
Benar saja, kondisi di luar sangat gelap pada pukul 7 malam ini. Tidak ada penerangan di teras, hanya sebuah penerangan dari sebuah lampu taman yang berwarna oranye.
"Lo yang tinggi aja nggak sampai, apalagi gue?" ujarku sembari berkacak pinggang menyadari plafon teras yang tingginya mencapai 4 meter.
"Justru itu. Gue belum beli meja kecil atau kursi nih. Nggak mungkin kan gue geser sofa atau meja gede cuma buat pasang lampu teras? Lo bisa ganti lampu kan? Lo gue gendong ya?" cetusnya. Rumah ini masih sepi perabotan, tidak ada meja kecil ataupun kursi kecil untuk satu orang. Bahkan untuk meja makan, Genta memakai meja dan kursi bar saja.
"Ck. Yaudah," kataku malas. Genta langsung membuka kotak lampu dan mengeluarkan isinya untuk ia serahkan kepadaku. Setelahnya, pria itu berjongkok sembari tangannya menepuk sebelah pundaknya untuk memberi tanda agar aku naik ke pundaknya.
Perlahan, kuposisikan kaki kananku di pundak kanannya dan kemudian kaki kirku di pundak kirinya. Tangan kekar Genta melingkar erat di kedua pahaku. Terasa sekali telapak tangannya yang kasar langsung mengenai kulit pahaku.
"Pelan-pelan, Ta," kataku saat pria itu mulai bangkit berdiri. Satu tanganku memegang lampu, sementara satu tanganku yang terbebas sedang memegangi kepala Genta. Tampaknya pria ini sedikit oleng, mungkin bobot tubuhku yang berat hingga ia nyaris hilang keseimbangan.
Pelan-pelan, kuposisikan lampu pada tempatnya, kemudian memutarnya agar masuk sempurna. Mengganti lampu merupakan hal yang mudah bagiku. Berkali-kali kulakukan sejak aku masih di apartemen. Namun digendong oleh Genta dengan posisi begini membuatku canggung. Bagaimana tidak? Tangan seorang pria kini berada di kulit pahaku secara langsung. Kurasakan keringat dingin mulai keluar dari punggungku saat kurasakan telapak tangan Genta yang kasar itu. Telapak tangan kasarnya yang biasa ia gunakan untuk mengangkat dumble.
"Udah," kataku setelah lampu terpasang sempurna. Genta perlahan jongkok kembali. Namun kenapa pria ini tak kunjung melepas tangannya dari kedua pahaku? Aduh Genta! Cepatlah!
Mungkin ada sekitar 5 detik aku berdiam di posisi ini. Genta sudah jongkok namun aku belum juga bangkit dari posisiku karena tertahan tangannya yang masih melingkar di pahaku.
"Ta?" kataku.
"Ng.. buruan turun!" sentaknya langsung melepaskan tangannya. Aku langsung bangkit berdiri. Tak mau membuat suasana menjadi lebih canggung, aku langsung pamit kembali ke kamar.
"Minggu depan ultah Papa. Kita nginep ya di rumah gue?" ujarku sebelum meninggalkan.
"O-oke," jawabnya.
***
Sorry banget aku baru sempat update. Kerjaan lagi padat-padatnya, jadi aku baru banget sempat post. 2 chapter sekaligus yaaa sebagai permohonan maaf.
ESTÁS LEYENDO
The Only Exception [END]
RomancePesahabatan yang dibangun Ane, Genta, dan Karen hancur lebur kala Karen-calon istri Genta-secara tiba-tiba membatalkan pernikahan saat persiapan sudah rampung 85%. Sakit hati Genta yang begitu mendalam serta kekecewaan Ane pada Karen, membuat trio s...
9. Pindah
Comenzar desde el principio
![The Only Exception [END]](https://img.wattpad.com/cover/200767549-64-k174844.jpg)