S A T U

14.2K 928 154
                                    

Selamat menangis!

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Selamat menangis!

~~Batas air mata~~

Plak!

Entah sudah berapa kali tamparan dari Rahman (papa Allena dan Alleta) mendarat di pipi Nadin (mama Allena dan Alleta). Bukan karena Rahman tak sayang, tetapi karena wanita itu berani melawan terhadapnya. Padahal, di sisi lain Nadin-lah yang sangat terluka tanpa sepengetahuan Rahman.

"Mau sampai kapan kamu seperti ini, hah?! Mau sampai kapan terus membanding-bandingkan mereka?! Dia itu darah daging kamu juga!" bentak Rahman.

Cleng!

"Harusnya kamu juga sadar diri! Kapan kamu mengurusnya?! Urus tuh anak tidak berguna itu! Anggap saja saya tidak pernah melahirkan anak seperti dia!" cerca Nadin disertai pecahan gelas, entah sudah berapa banyak gelas yang ia pecahkan setiap kali bertengkar dengan suaminya.

Suara keributan itu terus bergema di telinga Allena, karena untuk saat ini Nadin memilih untuk menitipkan Alleta di tempat ibunya sejak satu tahun lalu.

Tetap bergema, meski kedua lengannya sudah menutupi indra pendengarannya, tetapi suara keributan itu masih saja meremukkan hatinya, lebih sakit dari tulang rusuknya yang dipatahkan.

Kata kasar, mengumpat, sering kali Allena dengar dari kedua orang dewasa itu. Allena tidak mengerti, mengapa ibunya tak pernah bisa menyayanginya. Gadis berusia 14 tahun ini harus senantiasa menahan sesak di dadanya.

Napasnya mulai tak beraturan karena penyakit asma yang dideritanya mulai kambuh, semakin terasa sesak tatkala mengingat ucapan ibunya tadi.

"Papa ...," lirih Allena ketika napasnya sudah sangat sesak. Namun, tampaknya mereka tak peduli, mereka lebih memilih melanjutkan pertengkarannya daripada mengurusi Allena.

"Tuhan ... bantu Lena, bantu Lena agar kuat. Bantu Lena, Tuhan ...," lirihnya.

Tatapan kosong, mata yang sayu, berharap ada keajaiban detik ini juga agar telinganya tak mendengar perdebatan itu. Pandangannya mulai kabur, tetapi Allena berusaha bangkit untuk melerai perdebatan yang bahkan ia sendiri pun tak tahu apa sebabnya.

Allena keluar kamar seraya memegangi dadanya yang masih terasa sakit. Melihat lengan kekar papanya yang hendak mendarat di pipi mamanya sontak ia terkejut, gadis itu tak menyangka jika papanya akan sekasar ini.

"PAPA, HENTIKAN!" cegah Allena sambil menghampiri mereka dengan bertatih.

"Kalau kalian terus bertengkar seperti ini, LEBIH BAIK LENA MATI! AAA!!!" teriak Lena frustrasi, rambuhnya ia remas sekuat tenaga melampiaskan pilunya yang tak bisa ia kendalikan.

RAPUH! Where stories live. Discover now