28 ♡ Mencari Tahu🕊

2.4K 213 30
                                    

Pagi ini, semangat Bagas kembali meskipun tak sebesar saat ia selalu bersama Allena. Bagas memulai kembali semuanya, setelah beberapa hari lalu ia selalu termenung. Sarapan bersama keluarga, mungkin hal ini yang Allena dan Alleta inginkan, Bagas jadi teringat kembali saat menyantap makanannya bersama kedua orang tua serta abangnya.

“Lo mau sekolah, Dek? Tumben banget datang pagi, pas di Jakarta dulu gak pernah tuh datang pagi,” cibir Elang yang dihadiahi pukulan halus dari sang papa.

“Kamu tuh! Adik kamu berubah baik bukannya didukung malah dicibir begitu,” protes George—papa Bagas.

“Yes ada yang belain!” seru Bagas sambil terkekeh.

“Oh iya, Ma, Pa, pulang sekolah Bagas kayaknya bakal telat, ada suatu hal yang harus Bagas selesaikan,” ujar Bagas, kedua orang tuanya mengangguk. Selagi itu hal yang positif, keduanya tetap mendukung penuh kegiatan Bagas.

Sampai kapan gue bersikap seolah gak ada apa-apa?” batin Elang, tersenyum miris melihat kebersamaan keluarganya ini.

“Nanti Febi sama temennya mau ke sini katanya, Ma, mau ambil berkas yang masih ada di aku,” ujar Elang, sekadar memberi tahu bahwa aka nada seseorang yang bertamu ke rumahnya.

“Tumben Dokter cantik itu sama temennya, biasanya selalu menyendiri,” ejek Bagas sambil mencium tangan kedua orang tuanya untuk segera berangkat sebelum mendapatkan bogeman dari sang abang.

Bagas mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, raganya seolah hilang mengingat Allena tak ada di sampingnya. Padahal, setiap bertemu mereka selalu memperdebatkan suatu hal yang tak penting.

“Eh, Bro! Udah masuk? Gimana cewek lo?” tanya Pian yang baru saja memarkirkan motornya di samping motor Elang.

“Belum ketemu,” ucap Bagas lemas sambil menaruh helm yang ia pakai.

“Pantesan lesu gitu,” cibirnya. “Yaudah ayo ke kelas! Dia udah dewasa, gak bakal hilang kayak bocah.” Perkataan Pian bukan membuat Bagas tenang, justru perkataan itu seolah meledek Allena, dan Bagas tak terima itu.

“Ini bukan masalah kecil atau dewasanya! Masalahnya dia cewek, dia gak sesehat yang lo lihat, dia gak setegar yang kita semua tahu! Bahkan dia bener-bener pandai bersembunyi, terutama bersembunyi bersama luka,” ujar Bagas yang membuat Pian hanya bisa terdiam.

Selama perlajaran berlangsung Bagas tak tenang, tatapannya beralih pada kursi yang seharusnya diduduki Allena namun, kursi itu kini kosong tak terisi.

Kapan lo duduk di kursi itu lagi, Len? Kapan lo kembali? Lo di mana sih, Len,” batin Bagas, wajahnya mendadak murung seketika.

Pulang sekolah, Bagas menjemput Alleta di kelasnya, hari ini ia akan benar-benar menuntaskan mencari tahu siapa pelaku itu, setelah itu barulah ia akan kembali mencari Allena. Karena ia tak mungkin mencari Allena, sedangkan pikirannya terpecah dengan pemaksaan Nadin.

“Al,” panggil Bagas membuat wanita itu menoleh.

“Hm?”deham Alleta sambil melangkahkan kakinya, menyusuri koridor kelas 11.

“Stev kok jarang kelihatan, sih?” Pertanyaan Bagas membuat Alleta menghentikan langkahnya, wanita itu teringat dengan perkataan terakhir Stev sebelum lelaki itu tak lagi muncul di hadapannya.

“Hei! Kok malah bengong?” ucap Bagas.

“Gue baru sadar, sebelum kejadian itu Stev pamit ke gue entah mau ke mana. Gue juga udah gak pernah lihat dia, bahkan temen-temen sekelasnya aja pada gak tahu ke mana Stev, gak ada kabar. Gue takut, kalau suatu saat Stev kembali dan tahu keadaan gue, pasti dia bakalan benci sama gue,” ujar Alleta melirih di akhir perkataan.

RAPUH! Where stories live. Discover now