Tidak lama muncul pesan balasan dari Dhaffi. Queenzie segera membukanya. Dia sampai melupakan tugasnya yang belum selesai hanya karena meladeni pesan Dhaffi.

Saya tidak tahu maksudnya apa. Papa kamu tiba-tiba saja mengirimkan nomor kamu ke saya.

Queenzie tercengang. Papanya itu memang kelewat jahil. Meskipun itu kelakuan papanya, tapi Queenzie yang menanggung malu. Harga diri Queenzie pasti akan turun di hadapan Dhaffi.

Queenzie tidak membalas pesan Dhaffi lagi. Dia sudah terlanjur malu karena kelakuan papanya.

Beberapa menit ponselnya diam, sekarang ponsel itu berbunyi lagi. Kali ini bukan pesan yang masuk, melainkan panggilan dari seseorang yang baru saja mengiriminya pesan.

“Mau apa lagi, sih, nih orang?” kesal Queenzie.

Dengan malas dia mengangkat panggilan dari Dhaffi. Dia tidak mau mendapat masalah lagi karena mengabaikan dosen pencabut nyawa itu.

“Hallo, Mas dosen!” sapanya malas.

“Saya kan sudah menyuruh kamu tidur, kenapa lampu kamar kamu masih menyala?” cerocos Dhaffi. Laki-laki sholeh idaman Alvis itu sampai lupa mengucapkan salam.

“Gimana bisa tidur kalau tugas yang kamu kasih aja belum selesai?”

“Masih banyak?”

“Lumayan. Ada beberapa soal yang gak aku ngerti maksudnya.”

“Butuh bantuan?”

Queenzie yang tadi menopang kepalanya dengan tangan langsung duduk tegak mendengar tawaran Dhaffi. Dia tidak menyangka Dhaffi akan menawarkan bantuan untuknya.

“Serius kamu mau bantu aku?” tanya Queenzie antusias.

“Iya.”

“Ya udah buruan sini!” Memang terdengar tidak sopan karena diucapkan oleh mahasiswa pada dosennya, tapi Queenzie tidak peduli. Kalau di rumah, Dhaffi adalah tetangganya bukan dosennya.

“Tunggu saya di ruang tamu!”

“Kenapa di ruang tamu? Di kamar aja! Aku males bawa buku-bukunya ke ruang tamu.”

“Saya tidak mau membantu kalau kamu mengerjakannya di kamar.”

“Kenapa?”

“Saya laki-laki, Queenzie, dan kamu perempuan. Rasanya tidak pantas kalau kita hanya berdua di dalam kamar.”

Queenzie tersenyum geli mendengar alasan Dhaffi.

“Kamu takut khilaf ya?” goda Queenzie.

Dhaffi langsung tersedak air liurnya sendiri. Dia berdehem salah tingkah.

“Tidak. Sudahlah, cepat turun kalau kamu memang mau saya bantu! Saya akan segera kesana.”

Queenzie yang sudah membuka mulut bersiap membalas ucapan Dhaffi langsung menutup mulutnya kembali saat sambungan tiba-tiba terputus.

Queenzie tertawa keras. Terdengar kegugupan dari suara Dhaffi saat Queenzie menuduhnya takut khilaf.

“Dia kalau kayak gitu ngegemesin, tapi kalau di kampus nyebelin banget.”

Queenzie segera membereskan buku-buku dan alat tulis beserta laptopnya lalu membawanya ke ruang tamu. Dhaffi datang tidak lama setelah itu. Dia hanya menggunakan kaos dan celana selutut. Tampak santai namun tetap mempesona.

“Kamu gak dikira maling sama Pak satpam kan?” canda Queenzie.

“Enggak. Mereka kan sudah mengenal saya.” Balasan Dhaffi membuat tawa Queenzie berhenti. Menyebalkan sekali. Queenzie hanya bercanda, tapi Dhaffi membalasnya dengan serius.

“Soal mana saja yang belum kamu mengerti?” Dhaffi mendekat untuk melihat layar laptop Queenzie.

Queenzie menunjukkan beberapa soal yang memang tidak dia mengerti. Queenzie kira Dhaffi akan langsung menunjukkan jawabannya, tapi ternyata laki-laki itu hanya menjelaskan maksud dari soalnya saja. Kalau seperti ini, sama saja dia tidak membantu karena yang berpikir tetaplah Queenzie.

“Dikumpulin lusa aja ya, Mas?Aku udah ngantuk,” mohon Queenzie. Dia bahkan sudah menidurkan kepalanya di atas meja karena matanya sudah sangat mengantuk.

“Gapapa. Gak usah dikumpulin juga gapapa. Saya hanya akan menilai tugas yang kamu kumpulkan besok. Setelah lewat dari hari yang ditentukan, tugas kamu akan berakhir sebagai bungkus gorengan.”

“Jahat banget!” Queenzie cemberut. Matanya memperhatikan Dhaffi yang sedang mengoreksi jawabannya.

“Makanya kamu harus mengumpulkan tepat waktu kalau kamu ingin mendapat nilai dari saya!”

Queenzie mengangguk. Dia kembali mengerjakan tugasnya dengan mata menyipit karena mengantuk. Dhaffi juga membantunya menemukan jawabannya setelah dia melihat Queenzie yang terus-terusan menguap. Dia sebenarnya tidak tega, tapi dia juga tidak bisa memperpanjang deadlinenya. Itu sebagai bentuk hukuman agar Queenzie tidak terlambat lagi.

“Mas...” panggil Queenzie pelan.

“Hmmm...” Dhaffi hanya menggumam saja tanpa menoleh. Tatapannya masih fokus pada layar laptop.

“Kalau aku ketiduran, tolong pindahin ke kamar, ya! Kamu kuat gendong aku kan?”

💄💋💄💋

Hello, Mas Dosen! (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang