8. Anything for My Ane

Start from the beginning
                                        

"Tenang, nanti aku yang ngomong. Thank you Gita, udah diinfoin," kataku pada perempuan yang masih duduk di depanku sembari menyusun dokumen calon kandidat. Perkara Edgar mungkin bisa kutangani. Bujukanku biasanya ampuh untuk memintanya ini itu. Semoga saja ia masih mau.

Kutekan nomor extension Edgar, nada tunggu pun langsung terdengar. Agak butuh waktu lama hingga suara bariton itu menyapa.

"Ya?" Kukerutkan keningku. Baru kali pertamanya Edgar menjawab teleponku seperti ini. Mungkin saja ia tak melihat nama peneleponnya.

"Gar, ini aku, Ane," ujarku. "Besok kan rencana kita meeting jam 9, tapi ternyata besok ada psikotes jam 08.30. Sementara anak-anak timku besok pada punya jadwal sendiri. Boleh nggak kalau meeting-nya dimundurin jadi after lunch?" kataku.

"Kamu pikir maju-mundurin jadwal meeting gampang? Meeting ini sudah dijadwalkan dari seminggu lalu, loh." Ada keterkejutan saat mendengar respons Edgar yang baru pertama kali kudapati.

"Maaf banget, Gar. Aku nggak tahu kalau Marta sakit. Sementara Gita sama Ver—" perkataanku belum selesai saat Edgar memotongnya.

"Nggak. Lama-lama kamu keenakan kalau maju-mundurin jadwal sembarangan, Ne. Timku semua udah siap, udah pada luangin waktu. Tolong hargain kami," ujarnya.

"Nggak mungkin juga kalau 60 orang harus kubatalkan psikotesnya besok, Gar," balasku kukuh.

"Kamu punya tim, Ane, yang bisa kamu manfaatkan. Harusnya kamu atur itu dari jauh-jauh hari, bukan dari H-1. Aku bisa laporin kamu ke Bagas kalau kamu lalai dan seenaknya ubah-ubah jadwal. Udah ya, aku sibuk," putusnya. Kututup telepon dengan kasar dan kutarik napasku berat. Entah Edgar yang tidak profesional menyikapi masalah pribadinya denganku atau memang aku yang selama ini terlalu seenaknya dengan Edgar. Dan begitu hubungan kami berakhir, Edgar memperlakukanku seperti karyawan lainnya.

Aku mengurut keningku yang membuat Gita bisa langsung paham apa yang terjadi. Gita bukannya tidak tahu perihal hubunganku dengan Edgar. Justru hubunganku dan Edgar sudah diketahui rekan-rekan di kantor. Dan itu yang membuat mereka semua kaget saat kusebar undangan pernikahanku dengan pria yang bukan merupakan Edgar.

"Mbak.." kata Gita dengan prihatin.

"Kamu sama Vera interview kandidat apa?" tanyaku.

"Vera interview kandidat sekretarisnya Pak Gavin. Ada 5 orang, Mbak. Kalau aku interview kandidat section head accounting 1 orang sama calon anak magang 1 orang. Dua-duanya nggak bisa di-reschedule soalnya yang satu masih kerja dan yang satu masih kuliah," katanya. "Mereka izin pagi hari."

"Itu pemagang yang di­-request Mas Bagas ya?" tanyaku.

"Iyaps benar. Dia kemarin nggak sempat ikut karena ada sidang skripsi, jadi aku jadwalin besok."

"Mereka jam berapa aja?"

"Yang sekretaris jam 08.30, yang pemagang jam 09.30."

Tiba-tiba terlintas ide untuk mengerjakan bosku itu. Dia harus tahu betapa aku kesulitan meng-handle 2 departemen sekaligus di mana untuk timku sendiri hanya terdiri dari 4 kepala termasukku.

Kutekan extension Vivi dan langsung diangkatnya. "Vi, Mas Bagas ada di ruangan?" tanyaku.

"Ada, Kak. Mau ketemu?"

"Iya nih. Aku ke sana sekarang, bisa nggak?" tanyaku.

"Oh bisa. Bapak lagi nggak ada jadwal kok. Aku infoin Pak Bagas ya kalau Kak Ane mau ke sini," jawabnya. Dengan segera, aku menuju ruangan Bagas dengan Gita yang memberikanku semangat.

The Only Exception [END]Where stories live. Discover now