8. Anything for My Ane

Comincia dall'inizio
                                    

Menikah dengan Genta juga membawa beberapa keuntungan bagiku. Firma hukum tempat Genta bekerja memberikan fasilitas asuransi kesehatan kepada istri dari karyawan dengan level tinggi. Karena Genta masuk kriterianya, jadilah aku turut didaftarkan asuransi kesehatannya. Lumayan sekali, benefit yang ditawarkan juga tidak main-main. Kini aku tak perlu risau bila aku sakit. Asuransi kesehatan dari kantorku dan kantor Genta siap meng-cover.

"Ne, jangan lupa kirim softcopy KTP lo ya ke gue," pinta Genta.

"Buat apa?" tanyaku.

"Lo dapat asuransi dari kantor gue," ujarnya.

"Yes! Asyik-asyik! Plan-nya gede nggak?"

"Nggak perlu lo ragukan lagi lah. Oiya nanti sore gue mau ketemu klien di deket kantor lo. Mau bareng nggak pulangnya?" tawar Genta sebelum ia pamit.

"Sampai jam berapa?" tanyaku.

"Paling jam 6an kelar. Gue ketemuan dari jam 4 sih," jelas pria yang kini tengah memakai sepatunya.

"Kalau kerjaan gue udah kelar, nebeng dong. Tapi kalau belum, duluan aja," kataku.

"Yaudah. Nanti kabarin aja. Gue cabut ya," pamitnya kemudian berlalu.

Aku mengamati tiap langkah Genta dari ia pamit padaku, membuka pintu, kemudian menutupnya kembali. Rasanya geli bila pikiran di otakku berputar dengan pikiran, jadi begini rasanya bila suami pamit berangkat kerja. Ada impuls dalam hati yang mendorongku untuk berkata hati-hati dan berdoa supaya pekerjaannya terselesaikan dengan lancar. Selama ini aku selalu melihat Papa yang berpamitan pada Tante Rinda dan selalu dibalas Tante Rinda dengan perkataan yang sama setiap hari: "hati-hati ya, Pa. Semoga lancar hari ini." Kemudian dibalas papa dengan kecupan di kening Tante Rinda. Sesuatu yang agaknya tak mungkin terjadi padaku dan Genta. Membayangkan Genta mencium keningku saja rasanya geli. Hanya sekali saja ia melakukan itu, yakni saat pernikahan kami.

Aku segera mengenyahkan pikiranku yang sudah mulai ke mana-mana. Lebih baik aku segera makeup dan berangkat kerja mengingat sudah pukul 8. Sangat mudah bagiku untuk pergi ke kantor, terlebih sejak adanya stasiun MRT di depan kompleks apartemenku. Hanya butuh 2 stasiun untuk kulalui sehingga sampai tepat di depan kantorku. Aku bersyukur dengan kemudahan transportasi umum yang kian hari kian baik. Sehingga membeli mobil bukan lagi merupakan keinginanku terdepanku.

***

"Mbak Ane, besok kan jadwal psikotes. Harusnya Marta yang jadi PIC. Tapi dia kan masih sakit nih, kira-kira mau ganti jadi siapa untuk PIC-nya? Soalnya kalau aku dan Vera, besok pagi ada interview kandidat," ujar Gita yang merupakan salah seorang dari timku saat ia tengah menyeleksi berkas kandidat di kubikelku.

"Waduh, aku besok juga ada meeting pagi sama Tim Newst," ujarku. "Emang besok ada berapa orang yang ikut psikotes?"

"Enam puluh nih, Mbak. Lumayan banyak kan. Kalau Cuma 5 orang doang kan bisa kita reschedule." Benar, tidak mungkin reschedulte psikotes yang hanya tinggal besok.

Aku berpikir sejenak. Tidak mungkin bila Marta kupaksa masuk di saat ia sedang terbaring lemah karena gejala typus. Tidak mungkin juga Vera atau Gita kuminta batalkan interview. Hal yang paling mungkin kulakukan adalah meminta izin pada Edgar untuk mengundur rapatnya agar bisa dilakukan after lunch setelah aku selesai menjadi PIC psikotes.

"Oke, aku izin Edgar dulu deh buat mundurin jadwal meeting. Semoga dia mau," kataku yang mendapat tatapan tidak enak dari Gita.

"Mbak, serius? Pak Edgar kan strict kalau urusan ubah-ubah jadwal," ujarnya khawatir.

The Only Exception [END]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora