34

2K 558 72
                                    

Sylvia tidak bisa berhenti menangis, malah semakin menjadi, sampai ia tidak bisa melanjutkan makannya, dan meletakan sendoknya, karena kedua tangannya ia gunakan untuk menutupi keseluruhan wajahnya.

Christ bangkit berdiri, ia mencuci tangannya sejenak, sebelum berdiri di samping Sylvia, meraih bahunya, dan membiarkan gadis itu bersandar di perutnya, dengan ia mengusap-usap bahu Sylvia untuk menenangkannya.

"Kalau dia emang mau pergi... hiksh, tapi dia gak mau bilang mau kemana... dia gak mungkin pergi yang jauh...," gumam Sylvia disela isakan tangisnya, "Gue takut dia beneran pergi... gue sayang banget sama dia,"

"Siapa sih orangnya? Coba kasih tau gue dah. Kalau perginya mau mati gak akan gue hajar, tapi kalau dia perginya mau ke suatu tempat, biar gue hajar,"

Sylvia memukul perut Christ, sembari mengangkat kepalanya.

"Mau ngapain dihajar?" seru Sylvia.

"Ya, biar dia gak jadi pergilah, gimana sih?" respon Christ.

"Gak ngaruh, lagian dia kemaren baru dihajar habis-habisan sama orang. Enak aja mau Lo hajar lagi. Jangan dikit-dikit main kekerasan," kata Sylvia.

Christ mengambil tisu yang ada di atas meja, kemudian mengelap air mata sampai ingus Sylvia. Sylvia tentu saja terkejut diperlakukan seperti itu, dan hanya bisa menatap Christ dengan kening mengkerut.

"Ish, emang gue anak kecil?" gerutu Sylvia kemudian, saat menyadari tindakan Christ padanya seperti ke anak kecil.

"Lah, emang," ucap Christ, sembari menjauh dari Sylvia, dan kembali ke tempat duduknya.

"Enak aja, gue udah dewasa!" seru Sylvia tak terima.

"Syl, namanya orang itu bakal datang dan pergi, kalau udah pergi ya udah relain aja," ujar Christ.

"Mana bisa kayak gitu,"

"Lo gak terima sama kepergian orang itu, karena pasti berharap bisa sama orang itu selamanya. Padahal ya gak bisa, banyak alesan buat orang itu bisa pergi, entah punya kesibukan sendiri, mati, atau emang pengen pergi gitu aja, kayak bonyok gue," papar Christ.

"Nyokap sama bokap gue sampe sekarang masih bareng-bareng kok," gumam Sylvia.

"Umur gak ada yang tau," timpal Christ.

"Lo nyumpahin orang tua meninggal?"

"Enggak! Gue sekarang ngomongnya realistis aja,"

"Tapi emangnya Lo bisa relain kepergian temen Lo gitu aja? Pasti enggak kan?"

Christ mendengus, "Gue bisa, orang udah biasa ditinggalin. Emang gue suka ngejar-ngejar orang yang pernah jadi 'temen' gue, tapi bukan karena keinginan gue sendiri,"

"Terus?"

"Udahlah, Lo gak akan ngerti,"

Sylvia mendengus, ia sebenarnya mengerti. Maksud Christ 'teman', pasti anggota gengnya.

"Tapi berkat Lo gue memutuskan buat berenti ngejar-ngejar temen-temen gue itu. Capek juga sih, mereka gak akan pernah balik juga," tutur Christ.

'Yang dikejar-kejar gak cuman om Hyunjin, toh,' batin Sylvia.

"Emangnya gue ngapain?" tanya Sylvia.

"Gara-gara omongan Lo pas di koridor rumah sakit," jawab Christ.

"Cuman yaa... gue harus terima konsekuensinya sewaktu-waktu," gumam Christ.

"Konsekuensi gimana?" tanya Sylvia.

"Konsekuensi karena gak bisa mertahanin temen-temen gue,"

"Hah? Bahaya konsekuensinya?"

Christ tidak langsung menjawab, ia melirik Isabel sekilas, kemudian menghela napasnya.

Perfect | Hhj ✔Where stories live. Discover now