Chap 24. Not Like Before

Start from the beginning
                                    

Bara hanya terdiam masih terus berlanjut meninju samsak.

"Kau sudah besar! Dan keluarga Wilson itu pun sudah kita dapatkan. Tapi... kau malah terikat dalam suatu hubungan dengan anak dari seseorang yang telah membunuh adikmu!" sinis Rimba membuat amarah Bara memuncak.

"Iya! Itu semua benar! Jika dulu aku mengetahui Lara adalah anak dari si brengsek itu, aku juga tidak akan sudi mencintainya!" teriak Bara.

Rimba lagi-lagi menampilkan senyum remehnya. "Oh, jadi kau sudah menaruh cinta kepadanya? Kau sungguh kakak yang buruk!"

Rimba mengepalkan tangannya kuat. "Jaga ucapan mu!" sarkas Bara tak kalah sinis.

"Kenapa? Bukankah perkataan ku memang benar, kau adalah seorang kakak yang brengsek. Adikmu yang dulu tersiksa dan terbunuh di depan matamu. Dan dulu kau juga yang berjanji akan membalas dendam. Tapi apa? Bahkan kau lemah jika berhadapan dengan gadis manjamu itu!"

"Kau orang yang bodoh!" caci Bara dengan seringai keji. "Aku memilih membuatnya mati dengan perlahan. Dari siksaan, tekanan, dan berujung pada kematian!"

Rimba bertepuk tangan bangga. "Kau memang cerdas!"

"Kecerdasanku ini, menurun dari ayahku!" tiba-tiba muka Rimba terlihat masam ketika Bara mengucapkan pujian untuk mendiang ayahnya, Andreas Xavier--ayah Bara.

Tapi, kecerdasanmu akan kalah dengan kelicikan ku, Rimba tersenyum misterius dengan alis yang terangkat satu.

-✍︎-

Parasit itu, ah~ sedikit koreksi. Maksudnya, Rimba sudah pulang dari mansion mewah Bara. Dan sekarang, Bara sedang sibuk memakan makan siangnya sendirian.

Suapan demi suapan berhasil masuk dalam mulut Bara. Namun, pikirannya kalut karena gadis yang baru saja mendapatkan siksaan darinya. Dengan malas, Bara berjalan menaiki tangga, membuka pintu kamar yang di tempati Lara.

Manik mata Bara menangkap sosok yang kini tengah tergeletak tak sadarkan diri di lantai. Darah segar masih senantiasa mengalir di pelipis dan bibirnya. Munafik jika Bara tidak merasa empati ataupun sedih melihat kondisi Lara.

"Lara! Lara hey!" dengan pelan Bara menepuk lembut pipi Lara.

"Shit!" Bara mengangkat tubuh langsing Lara. Merebahkannya di atas kasur empuk lalu menelfon seseorang.

"Cepatlah kemari!"

Tut... Tut...

Bara meletakkan ponselnya di atas nakas. Kembali melirik gadis yang masih setia terpejam. Menyesal? Iya, Bara menyesal.

"Bi Lia!!" teriak Bara memanggil salah satu maid. Tak berselang lama, seorang wanita paruh baya memasuki kamar.

"Ada apa tuan?"

"Tolong ambilkan satu pakaian wanita di kamarku!" perintah Bara mengingat jika dress yang di pakai Lara telah sobek karena ulahnya.

"Baik," Bi Lia langsung menuju kamar Bara. Membuka lemari Bara dan mendapati beberapa paper bag dengan merk ternama.

Bara memang menyimpan beberapa baju baru yang sengaja dia belikan untuk Lara. Namun, belum sempat Bara memberikannya malah mendapat informasi jika Lara adalah anak dari Luke Wilson. Pelaku pembunuh adiknya.

"Ini tuan," Bi Lia memberikan satu paper bag yang berisi setelan baju casual kaos dan hotpants.

"Kenapa kau menyerahkannya kepadaku? Aku menyuruhmu mengambil pakaian itu agar kau memakaikannya," ucap Bara tak habis pikir.

"Aku juga lelaki normal," gumam Bara membuat Bi Lia terkekeh kecil.

Bi Lia lalu duduk di sebelah Lara yang terbaring dengan mata yang terpejam. "Kenapa tuan masih di sini? Tuan mau melihat?"

Bara mengeram, "Kenapa Bi Lia menyebalkan?!" Bara langsung bergegas keluar dan menutup pintu.

Setelah sepuluh menit berlalu, kini Lara sudah berganti pakaian yang bersih dan rapi. Lalu, Bi Lia membuka pintu yang ternyata sudah ada Bara dan seorang pria dengan jas putih khas seorang dokter.

"Semuanya sudah selesai tuan," pamit Bi Lia kemudian melangkah menjauh menuju dapur.

Pria yang kira-kira usianya tiga tahun di atas Bara mulai memeriksa kondisi Lara. "Lukanya mungkin akan mengering sekitar dua sampai tiga hari lagi. Dan suhu tubuh gadis ini cukup tinggi. Hanya sebuah informasi, suhu normal dapat menurunkannya."

Bara menatap penuh selidik ke arah dokter yang juga temannya, "Kenapa kau menatapku seperti itu? Itu adalah sebuah fakta!"

"Ya, ya, ya. Terserah!"

Dokter muda dengan sebuah stetoskop di lehernya itu tersenyum kecut, "Kau munafik Bara!"

"Jaga ucapan mu David!" geram Bara yang masih berusaha menahan kesabarannya. Bagaimanapun juga, David adalah teman terbaiknya sejak kecil.

"Boleh saja mulutmu berkata membencinya, namun mata dan hatimu tidak bisa berbohong tuan Bara Xavier."

"Sok puitis!" sindir Bara sambil melipat tangan di dada.

"Hey! Aku memang puitis. Tidak sepertimu yang dingin tak tersentuh," David terkekeh geli.

"Cepatlah pergi! Tugasmu sudah selesai!" usir Bara merasa geram.

"Kenapa? Apa kau sudah tidak sabar untuk memeluknya dengan keadaan telanjang dada?" ingin rasanya Bara mengubur hidup-hidup temannya ini.

"Dav--"

"Jagalah dia, sebelum aku berhasil menikung mu!" kekeh David sambil melirik Bara yang sudah tersulut amarah.

"David! Keluar sekarang juga atau aku akan mengusirmu dengan caraku?" ucap Bara dengan nada dingin.

"Baiklah! Baiklah! Sampai jumpa!" David buru-buru keluar dari kamar bernuansa klasik itu sebelum ucapan Bara benar-benar menjadi nyata.

Setelah kepergian David, Bara menatap intens wajah cantik Lara. Membelai lembut pipi Lara.

Apakah aku harus memelukmu?

- ℬ𝒶𝓇𝒶ℒ𝒶𝓇𝒶 -

Jangan lupa vote dan comment ya🖤!

Yuk! Bantu promosi Baralara di ig, sw, tiktok atau share ke teman kalian!

Follow wattpad rynynovi (Bantu 1K pengikut di wattpad ya🖤).
Follow ig @rynynovi, dm untuk follback ya 🖤.

Next?

Baralara [END]Where stories live. Discover now