Chap 4: Riski

491 42 13
                                    

"Ki!"

Gue melepas pandangan dari layar komputer dan beralih menatap Andra—rekan sedivisi gue—yang kini sudah berdiri menjulang di depan kubikel.

"Break dulu. Udah Zuhur," kata Andra sambil menunjuk arloji di tangannya.

Gue menilik penunjuk waktu di sudut layar komputer. Ternyata sudah masuk waktu Zuhur sejak sepuluh menit yang lalu. Gue sampai nggak sadar saking semangatnya menyelesaikan pekerjaan, demi bisa pulang tepat waktu untuk merealisasikan rencana dinner bersama Najwa—istri gue tercinta.

Astagfirullah! Semangat yang berlebihan bikin gue sampai melalaikan waktu salat. Mengejar taat dan istiqamah nyatanya memang nggak mudah. Semoga Allah mengampuni kekhilafan gue kali ini.

"Ikut ke musala nggak? Ayo!" Andra kembali berseru.

"Oke. Wait." Gue lekas mematikan komputer, meraih ponsel di meja, lalu mengikuti Andra menuju musala kantor.

🍃🍃🍃

Selesai melaksanakan salat, gue mendudukkan diri sejenak di undakan teras musala sambil mengenakan sepatu. Andra yang juga sudah selesai melaksanakan salat, ikut melakukan hal yang sama di sebelah gue.

"Lunch di mana, nih?" tanya Andra sambil memakai sepatunya.

"Menurut lo? Any recommended place?"

"Mozaik Tower?"

"Oke. Gue ngikut aja."

"Gue juga deal."

"Me too."

Ares dan Devan yang baru saja keluar dari musala, tiba-tiba ikut nimbrung sambil menenteng sepatu di tangan masing-masing dan mengambil duduk di dekat gue beserta Andra. Mereka juga rekan sedivisi gue di bagian Business Development—atau Divisi Pengembangan Bisnis—Harsya Group.

"Nongol-nongol langsung deal aja lo, Res!" cibir Andra. Ares hanya tertawa santai menanggapinya.

Setelah semuanya selesai mengenakan sepatu masing-masing, kami pun beranjak meninggalkan musala. Menuju basemen, tempat mobil kami terparkir.

"Gue bareng lo, ya, Ndra? Lagi males nyetir," ujar Ares sambil terus melangkah di sebelah Andra.

"Emang kapan lo pernah rajin, Res?" Devan yang berjalan di sebelah gue berceletuk mencibir Ares.

"Ya ... nggak pernah, sih," jawab Ares dengan nada santainya. Lalu tertawa tanpa dosa. Membuat Devan lekas meninju bahunya sambil mencebik.

Gue nggak begitu mengacuhkan obrolan mereka karena lebih fokus menatap layar ponsel di tangan. Menunggu Najwa membalas pesan yang gue kirimkan sejak setengah jam yang lalu, sebelum gue melaksanakan salat Zuhur.

To: My Beloved Wife ♥
Gimana kerjaanmu hari ini? Gak ada tanda-tanda bakalan lembur nanti malam, kan? Can't wait to dinner with you. I miss you so bad 😘

Begitulah isi pesan yang gue kirim buat Najwa—yang saat ini masih centang dua berwarna abu-abu pudar. Menandakan kalau pesan itu sudah masuk ke nomornya, tapi masih belum dibaca.

Apa dia sedang sibuk? Sesibuk itukah dia, sampai nggak sempat mengecek ponsel meski sudah waktunya break? Mendadak gue jadi merasa cemas sendiri. Menunggu-nunggu dengan nggak sabar.

"Lagi nungguin telpon dari siapa, Ki? Fokus banget melototin ponsel terus dari tadi," celetuk Ares yang kini menoleh ke arah gue sambil terus melanjutkan langkahnya.

NAJWA (Ketika Hati Memilih) ✓Место, где живут истории. Откройте их для себя