Chap 27: Riski

231 22 8
                                    

Kehilangan sering kali menjadi momok paling menakutkan dalam hidup. Suatu hal yang membutuhkan kelapangan hati dalam menerimanya. Sekarang gue tau kenapa Najwa begitu takut perasaan gue berubah dan berpaling meninggalkannya. Karena nyatanya memang nggak mudah untuk menghadapi sebuah kehilangan. Dan sekarang Allah sedang menguji gue dengan hal itu.

Siapa yang bisa merasa baik-baik saja saat tau kalau fisiknya kini sudah nggak lagi sempurna? Hati gue hancur begitu mengetahui kalau ternyata kaki kiri gue sudah diamputasi. Dunia gue seakan runtuh seketika. Kini gue sudah nggak lagi sempurna sebagai manusia, juga sebagai seorang suami untuk Najwa—istri gue tercinta.

Butuh waktu untuk gue bisa menerima kondisi tersebut. Untuk menerima ketidaksempurnaan gue saat ini. Bukan hanya beberapa menit atau jam. Gue butuh berhari-hari untuk berusaha melapangkan hati, memerangi perasaan kecewa dan segala pikiran menyedihkan yang memenuhi isi kepala, juga bayangan-bayangan tentang masa depan yang membuat gue merasa putus asa.

"Mas ... Aku tau ini gak mudah untuk Mas. Tapi Mas jangan nyerah, ya. Mas gak sendiri. Aku akan selalu ada di sisi Mas. Aku akan bantu Mas untuk ngelewati semua ini. Hm?"

Hampir setiap hari Najwa terus mengatakan hal itu untuk menenangkan dan menguatkan gue. Tapi tetap saja, semua itu nggak mengubah kenyataan kalau fisik gue kini sudah nggak lagi sempurna. Gue nggak akan pernah bisa berjalan lagi dengan normal. Kemampuan gue ke depannya akan sangat terbatas. Dan ... segala hal dalam hidup gue pasti akan berubah.

Gue merasa kehilangan semangat hidup—juga nafsu makan. Gue nggak lagi memiliki motivasi untuk melakukan apa pun. Saat ada yang mengajak bicara, gue lebih banyak diam dan memilih untuk menatap kosong ke sembarang arah. Gue benar-benar terpuruk. Gue nggak ingin dikasihani, tapi gue sadar kalau kondisi gue saat ini memang begitu menyedihkan. Sulit bagi gue untuk menerima kenyataan itu.

Hingga suatu malam, ketika mendapati sosok perempuan yang duduk terlelap dengan menjatuhkan kepalanya pada tepian ranjang tempat gue terbaring, tiba-tiba gue merenung. Wajah kuyu Najwa dalam tidur nyenyaknya membuat gue menyadari satu hal.

Seburuk apa pun kondisi gue, sehancur apa pun perasaan gue, ada seorang istri yang masih mengharapkan kehadiran gue dalam hidupnya. Dia selalu setia menemani gue selama di rumah sakit dan terus merawat gue dengan begitu telaten.

Pasti sejak awal gue masuk rumah sakit, dia terus berada di sisi gue tanpa pernah ingin beranjak, terus merasa cemas, sedih dan mengkhawatirkan gue. Dia juga pasti terus menunggu gue sadar dan ingin melihat gue tetap baik-baik saja menghadapi semua ini. Kalau gue terus-terusan terlihat hancur di hadapannya, gue yakin, hatinya pun akan ikut hancur.

Maka, dalam rasa getir yang terus menyelimuti hati gue, juga perasaan terpukul dan putus asa, gue mencoba untuk kembali bangkit dan berusaha untuk terlihat tegar di hadapannya. Berusaha untuk menunjukkan kalau gue bisa kuat menghadapi ujian ini dan tetap menjadi seorang suami yang bisa dia andalkan. Meski gue nggak yakin, entah gue bisa terus menjaganya ke depan—seperti yang selama ini gue lakukan, atau justru sebaliknya. Gue hanya berusaha untuk nggak lagi terlihat menyedihkan di hadapannya.

Dan itu gue mulai dari hari ini.

"Mau dikupasin buah yang mana, Mas?" tanya Najwa saat gue minta tolong ke dia untuk mengupasi salah satu buah yang ada di kulkas.

"Apel aja," jawab gue sambil terus menatap ke arah Najwa yang masih berdiri di depan kulkas yang sedang dia buka.

Terhitung sudah satu minggu gue sadar dan dipindahkan ke ruang rawat inap VIP—yang segalanya diurus oleh Papa atas permintaan beliau sendiri. Dan selama di ruang rawat, Najwa setiap hari terus berjaga di rumah sakit untuk menemani gue, bersama Oma yang juga hampir setiap hari ikut menginap—meski tiga kali beliau sempat pulang dan beristirahat di rumah setelah dipaksa oleh Papa agar beliau nggak terlalu kelelahan.

NAJWA (Ketika Hati Memilih) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang