Chap 16: Riski

218 16 2
                                    

Najwa benar-benar menagih janji gue. Selama dalam perjalanan mengantarnya ke kantor pagi ini, dia terus mewanti-wanti gue untuk ikut turun dan mampir di NUFI sejenak. Lalu bertemu Irgi dan meminta maaf atas kejadian kemarin.

Demi menenangkan hatinya, gue pun menurut saja. "Iya, Sayang. Nanti sampai di kantormu aku ikut turun dan ketemu manajermu itu untuk minta maaf," jawab gue dengan pasrah sambil terus melajukan mobil.

Najwa tersenyum sambil menepuk-nepuk pelan pundak kiri gue begitu mendengar jawaban gue. Sepertinya dia merasa senang karena gue menuruti perkataannya. Dia nggak tau saja, betapa beratnya hati gue melakukan itu. Jika saja ada cara untuk menghindar, gue akan lebih memilih untuk menghindar.

Dan sepertinya keadaan memang sedang berpihak ke gue. Dengan kondisi jalanan yang macet—as always, kami sampai di NUFI sedikit lambat. Waktu gue untuk mampir pun sudah terlalu mepet. Gue harus segera lanjut ke tempat kerja gue sendiri sebelum batas waktu untuk finger print berakhir. Akhirnya gue bisa menjadikan itu sebagai alasan dan berhasil menghindar.

Gue pikir bisa bernapas lega setelahnya. Ternyata Najwa malah minta gue untuk melakukan itu saat menjemputnya sepulang kantor nanti.

"Pokoknya nanti aku tunggu Mas di lobi. Mas parkir aja di basemen, terus temui aku. Nanti akan aku temani untuk ketemu Pak Irgi dan minta maaf atas kejadian kemarin," kata Najwa sebelum turun dan membuka pintu mobil.

Hati gue yang tadinya sudah terlanjur girang, seketika langsung mencelus. Ya Tuhan! Istri gue ... Kenapa dia bisa sekonsisten itu saat sudah memutuskan sesuatu. Ingin gue meluapkan rasa kesal, tapi nyatanya nggak bisa. Mana bisa gue merasa kesal ke dia. Gue sangat mencintainya.

"Ya, Mas, ya?" pinta Najwa lagi dengan penuh tuntutan.

"Mas?" Dia kembali menagih jawaban ketika gue nggak juga membuka suara.

"Iya, Sayang, iya," jawab gue—lagi-lagi dengan raut dan nada pasrah. Ini masih terlalu pagi untuk membuatnya ngambek. Lebih baik gue iyakan saja.

"Ya udah. Mas hati-hati. Assalamu'alaikum," ucap Najwa sembari turun dari mobil.

"Wa'alaikumsalam."

Setelah saling bertukar senyum dengannya sesaat, gue pun segera melajukan mobil, menuju Harsya Group. Najwa masih berdiri di tempatnya sejenak, menunggu sambil menatap sedan merah yang gue kenderai hingga menjauh dari pandangannya.

Sambil memandangi sosoknya yang masih tertangkap lewat kaca spion, ingatan gue kembali terlempar pada momen kemarin. Saat gue melihat Irgi yang duduk di dekat Najwa sambil menatapnya dengan begitu intens, juga mengungkapkan perasaannya ke Najwa dengan begitu serius. Hati gue terus berkecamuk setiap memikirkan hal itu.

Ingin rasanya gue meminta Najwa berhenti dari NUFI supaya dia nggak perlu bertemu Irgi lagi. Gue merasa nggak rela membiarkan Najwa bekerja di tempat yang sama dengan Irgi—dan lebih-lebih menjadi bawahannya. Namun, gue juga sadar, akan sangat kekanak-kanakan kalau gue melakukan hal itu. Gue nggak ingin egois dan merusak kebahagiaan istri gue sendiri.

Gue harap, Irgi nggak akan pernah mengulangi apa yang dilakukannya kemarin—atau bahkan bertindak lebih jauh dari itu. Gue nggak akan memaafkan kalau dia berani berbuat sesuatu yang bisa merusak dan menghancurkan rumah tangga gue bersama Najwa.

🍃🍃🍃

"Wih! Bisa banget gue sampai kantor barengan sama lo. Berasa tinggal serumah aja." Ares berseru dengan senyum usilnya ketika gue dan dia sama-sama baru tiba di ruangan Divisi Pengembangan Bisnis.

Gue hanya berdecak malas menanggapi jokes-nya itu. Lalu bergegas menuju kubikel gue tanpa memedulikan Ares yang terbahak puas dan berjalan bersamaan di dekat gue, menuju kubikelnya sendiri.

NAJWA (Ketika Hati Memilih) ✓Where stories live. Discover now