Chap 5: Riski

467 39 12
                                    

Sejak bertemu kembali dengan Freya di Harsya Group, kami nggak pernah mengobrol banyak selama ini. Apalagi membahas hal pribadi di luar pekerjaan. Saat awal menyadari keberadaannya di kantor ini, di divisi yang sama dengan gue, kami memang sempat saling bertukar kabar selayaknya teman lama yang kembali berjumpa. Gue juga memberitahunya bahwa saat ini gue sudah menikah dengan wanita yang sangat gue sayangi. Hanya sebatas itu.

Lalu malam ini, entah kenapa tiba-tiba Freya malah membicarakan sesuatu yang bersifat pribadi. Gue masih diam di tempat, menatap Freya dengan ekspresi datar. Kalimat yang baru saja diucapkannya, seketika mengingatkan gue pada permasalahan yang pernah terjadi antara kami di masa lalu.

"Aku bener-bener nyesel, Ki. Harusnya aku nggak ngelakuin itu ke kamu. Saat itu aku—"

"It was a past, Fre." Gue langsung memotong kalimat Freya sebelum pembicaraannya semakin melebar. Gue tau apa yang ingin dia katakan.

"Apa pun yang terjadi di masa lalu, bagiku nggak ada yang perlu dibahas lagi. Aku udah maafin kamu sejak lama—kalau memang itu yang pengin kamu dengar. Jadi nggak perlu diungkit lagi. Okay?"

Freya hanya diam bergeming menatap gue. Dia nggak lagi menanggapi. Gue pun lekas memasuki mobil. Lalu melaju keluar dari basemen, mendahului Freya yang masih bertahan di sana.

Sekilas sempat gue lihat dari kaca spion, Freya masih terus menatap kepergian gue. Namun, gue nggak begitu mengacuhkan lagi. Hanya fokus pada tujuan gue saat ini. Menuju Mozaik Tower untuk menyusul Andra, Ares dan Devan.

Bagi gue, segala hal tentang Freya memang sudah benar-benar berakhir sejak lama.

🍃🍃🍃

Malam sudah cukup larut ketika gue berhasil sampai di rumah Oma. Harusnya jam kerja gue sudah selesai sejak sore tadi. Tapi karena ada tugas dadakan yang diberi Pak Direktur kepada Divisi Pengembangan Bisnis, membuat gue bersama rekan-rekan sedivisi yang lain terpaksa harus lembur sampai malam hari. Jadinya gue baru bisa meninggalkan kantor saat jarum jam berada pada angka sepuluh.

Rumah Oma sudah terlihat sepi begitu gue sampai. Sepertinya acara yang digelar Oma baru saja selesai. Gue melihat Oma sedang berbincang dengan seorang wanita paruh baya di teras yang berpenampilan sama seperti beliau; mengenakan abaya putih dan kerudung instan warna berbeda. Mungkin salah satu teman pengajiannya yang masih tetap tinggal sebentar untuk mengobrol dengan Oma.

Setelah memarkirkan mobil di carport, gue langsung turun dan menghampiri Oma beserta teman pengajiannya itu. "Assalamu'alaikum," ucap gue sambil mengulas senyum sesopan mungkin.

"Wa'alaikumsalam." Oma dan wanita paruh baya di sebelahnya menoleh serentak ke arah gue.

"Ini cucunya Oma?" tanya wanita paruh baya itu pada Oma.

"Iya, Bu Ratih. Ini cucu saya satu-satunya. Yang nikah sama Najwa, cucu menantu saya yang tadi."

"Wah! Mereka serasi sekali."

Gue mengulas senyum tipis, menanggapi penuturan wanita itu. Lalu menoleh pada Oma. "Najwa masih di dalam kan, Oma?" tanya gue.

"Iya, lagi bantu Lastri beres-beres di dapur."

"Kalau gitu, aku ke dalam dulu ya, Oma," ujar gue memohon diri pada Oma. Lalu pada wanita paruh baya di sebelahnya juga. "Saya masuk dulu, Tante."

NAJWA (Ketika Hati Memilih) ✓Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz