Prolog: Najwa

830 56 8
                                    

Penantianku kini telah berakhir. Aku tidak lagi resah dalam kesendirian. Gemuruh di dadaku pun telah teredam. Karena hari ini ... aku telah resmi menjadi seorang istri. Memikul tanggung jawab baru dalam sebuah mahligai rumah tangga.

Air mataku jatuh saat menyaksikan layar televisi di ruang tunggu yang menampilkan momen ketika pria itu mengucap kalimat kabul sambil menggenggam tangan kakakku. Hatiku dipenuhi rasa haru yang membuncah sampai Mama dan kakak iparku berulang kali mengelus punggungku dan membantuku untuk menghapus air mata.

Rasa haruku kali ini disebabkan karena tiga hal. Pertama, aku terharu menyaksikan kakakku melepas tanggung jawabnya sebagai waliku dan menyerahkan tugas itu pada pria yang kini telah menjadi imamku. Sejak kecil Kak Fauzanlah yang selalu menjagaku, menggantikan tugas Papa yang telah kembali menghadap Allah saat usiaku masih dua tahun. Hanya Kak Fauzan satu-satunya saudara yang kumiliki. Dia kakak sekaligus seorang ayah untukku.

Kedua, aku terharu karena saat ini aku juga bukan lagi tanggung jawab Mama. Surgaku bukan lagi padanya. Baktiku pun tidak lagi bisa kuutamakan untuknya. Semua telah beralih pada pria yang menjadi suamiku. Bermanja-manja pada Mama tidak bisa lagi kulakukan dengan bebas seperti sebelumnya. Akan ada banyak tugas baru yang menantiku mulai saat ini.

Ketiga, aku terharu karena akhirnya pria itu benar-benar menjadi imamku. Pria yang kukenal sejak dua tahun lalu, saat aku sedang berlibur ke Jakarta—tempat kakakku menetap bersama istrinya yang pada akhirnya juga menjadi tempatku menetap saat ini.

Dia ... Ananda Riski Arrafif. Pria yang kini telah menjadi pemilik surgaku, sosok yang harus kuberikan seluruh baktiku padanya. Pria itu ... juga telah menjadi pemilik hatiku saat ini.

Awal bertemu dengannya dua tahun yang lalu, aku tidak memiliki perasaan apa pun untuknya—selain rasa kesal karena pertemuan pertama kami meninggalkan kesan tidak menyenangkan untukku. Namun, ketika takdir terus mempertemukan kami, perlahan rasa itu tumbuh di hatiku dengan sendirinya. Rasa suka yang kusimpan rapat-rapat agar Allah tetap rida padaku.

Kata Kak Fauzan—kakak semata wayangku, cinta itu akan tetap fitrah jika dijaga dengan baik, tidak diumbar sebelum waktunya, dan tetap disimpan rapi sampai simpul halal terikat.

Aku berusaha menyimpan perasaanku seperti yang dikatakan Kak Fauzan. Terkadang sulit juga menyembunyikannya setiap sosok itu muncul di hadapanku. Kehadirannya sering kali membuat irama jantungku tidak terkendali. Namun, sebisa mungkin aku terus berusaha menjaga perasaanku agar selalu berada dalam fitrahnya. Hingga suatu malam ... dia mengajukan lamarannya padaku.

"Om, Tante, Kak Fauzan, dan semuanya juga! Saya ... ingin menyampaikan sesuatu. Eng ... saya ... ingin melamar Najwa untuk menjadi istri saya," ujarnya saat itu.

Aku cukup kaget mendengarnya sampai terbatuk dan nyaris tersedak. Syukurnya Mama segera mengelus punggungku dan Kak Kayla—sahabat karib kakak iparku yang juga teman seangkatan pria itu—lekas menyodorkan segelas air untukku.

Bagaimana tidak kaget? Dia melamarku secara tiba-tiba tanpa memberitahuku sama sekali. Terlebih saat itu seluruh keluargaku sedang berkumpul. Kami tengah mengadakan syukuran wisuda kakak iparku bersama dua sahabatnya—yang mana dia termasuk salah satunya.

"Gimana, Wa?" Kak Fauzan menanyakan pendapatku ketika aku sedang tertunduk malu dengan salah tingkah.

Aku sampai tidak tahu harus menjawab apa karena terlalu kaget bercampur gugup. "A-aku ... Eng ....."

"Kalau memang kamu butuh waktu untuk berpikir dulu, nggak apa-apa, Wa. Aku akan menunggu." Pria itu langsung berujar di saat aku masih terlalu gugup untuk menyampaikan jawaban.

NAJWA (Ketika Hati Memilih) ✓Where stories live. Discover now