TERJEBAK BERSAMA

140 27 2
                                    


Bersamamu adalah bagian terbaik dalam hidupku.

"Kenapa Will nyariin lo kemarin?" Tanpa basa-basi, Reina langsung mengungkapkan rasa penasarannya. Kemarin, setelah pulang sekolah Reina tidak sempat menanyakan lagi pada Lia. Akhir-akhir ini Reina disibukkan dengan penerbitan majalah sekolah, sehingga ia tidak bisa berlama-lama mengobrol dengan Lia selepas jam pelajaran usai.

Lia sudah menduga kalau Reina bakal menodongnya dengan pertanyaan itu. "Nggak ada apa-apa, Rei." Kalimat yang sudah sering diucapkan Lia ketika menutupi sesuatu.

"Nggak ada apa-apa gimana? Yang nyamperin lo itu Will, loh!" ujar Reina sedikit gemas yang dibalas oleh senyum kecil oleh Lia. "Gue penasaran banget, Li. Kenapa akhir-akhir ini cowok-cowok populer di sekolah bisa kenal sama lo."

Perkataan Reina memang benar. Tentu saja itu mengejutkan, ketika orang terkenal berinteraksi dengan orang biasa-biasa saja seperti Lia.

"Pertama, Thora nyamperin lo pas di kantin. Kedua, Will nyamperin lo ke kelas. Gila, sih. Dua cowok itu punya banyak penggemar di sekolah, Li." Kedua alis Reina bertaut. "Lo dengerin gue, kan?" tanya Reina yang merasa diabaikan. Sedari tadi Lia hanya mentap keluar jendela.

Tidak mau Reina merasa tersinggung, Lia mengulang kembali perkataan Reina. "Gue dengar, Rei," tambah Lia lagi. Reina mengangguk sembari tersenyum puas.

Kemudian Reina melanjutkan obrolannya, "Thora itu emang terkenal iseng. Suka bikin kesal guru-guru di sekolah. Pokoknya langganan kena hukuman. Tapi meski image-nya agak jelek," ucap Reina dengan jari telunjuk dan jari tengah membentuk tanda kutip, "tapi orangnya kocak banget. Ramah pula."

Seakan lupa dengan rasa ingin tahunya, Reina melanjutkan informasinya dengan berapi-api. "Beda sama Will. Tampangnya emang lebih kinclong dibanding Thora, badannya proporsional, matanya tajam kaya elang. Selain good looking, otaknya juga brilian. Gue juga  dengar, kalau Will pernah menangin lomba olimpiade matematika tingkat SMP. Sekarang juga dia gabung sama tim olimpiade sekolah kita."

"Tapi ...." Reina sengaja memberi jeda pada kalimatnya untuk membuat Lia penasaran. "Tapi dia itu kayak cowok dingin yang nggak punya hati. Galak, cuek, seram deh pokoknya. Lo juga pasti ingat kejadian waktu dia marah-marah sama adik kelas kita. Bahkan sama cewek aja dia tega kayak gitu."

"Yang gue heran nih ya, masih aja ada cewek-cewek yang ngaku fan beratnya. Malah penggemar garis beratnya ada di kelas kita, loh," jelas Reina sedikit berbisik. "Lo tahu nggak siapa?" tanyanya lagi yang dijawab dengan gelengan kepala oleh Lia.

Reina mengembuskan napas kasar sembari memutar bola mata. Seharusnya dari awal dia sudah tahu kalau Lia tidak tahu apa-apa. Reina mencondongkan tubuhnya. "Tika," bisiknya tapi sangat jelas terdengar oleh Lia. "Udah jadi rahasia umum kalau Tika suka sama Will dan menurut yang gue dengar Tika sempat ngelabrak cewek-cewek yang juga suka sama Will. Ngeri, ya?"

Pandangan Lia langsung tertuju pada Tika yang sedang tertawa bersama teman-teman yang lain di bangkunya. Terjawab sudah tatapan sinis Tika kepadanya. Lia harus lebih berhati-hati lagi, atau masalah akan semakin rumit.

***

"Thoraaa ...." Suara menggelagar itu menggema di sepanjang koridor kelas XI. Guru dan siswa-siswa yang masih berada di kelas, sontak menatap ke luar jendela. Adegan kejar-kejaran antara kepala sekolah dan murid yang terkenal iseng di sekolah kembali terjadi.

"Jangan lari!" ucap Pak Roy di sela-sela napas yang terengah. Ia baru berlari selama dua menit, tetapi badannya sudah merasa lelah sekali. Semakin bertambahnya usia dan kurang berolahraga menjadi alasan stamina tubuh kepala sekolah itu menurun. Jauh berbeda dengan Thora yang masih muda dan merupakan anggota tim futsal sekolah.

Sementara Pak Roy beristirahat, Thora memanfaatkan kesempatan itu untuk mencari tempat persembunyian. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar. Mushola jelas bukan tempat yang tepat, karena ruangan itu tidak tertutup. Lalu ia melihat toilet dan kemudian menggeleng. Sudah pasti Pak Roy akan mencarinya ke sana.

"Thora ...."

Cowok itu terkesiap ketika mendengar suara Pak Roy mendekat. Thora berlari lagi karena tidak menemukan tempat. Ketika ia akan berbelok, tubuhnya menghantam seseorang dari arah berlawanan. Hampir saja orang itu jatuh ke belakang, kalau Thora tidak cepat menarik lengannya dengan cepat.

"Thora ...."

Suara itu semakin jelas terdengar. Dengan terburu-buru ia kembali bergerak hingga memasuki sebuah ruangan kecil yang semakin terasa sempit karena dipenuhi benda-benda yang sudah tidak terpakai.

Thora hendak bersembunyi di balik sebuah lemari yang berisi piala-piala usang. Namun, urung dilakukan ketika mendengar suara seseorang. "Kita ngapain di sini?" 

Jantung Thora rasanya mau lepas mendapat pertanyaan itu. Ia membelalakan mata, saat pandangannya bertemu dengan cewek berambut panjang itu. "Lia?" Thora mendapatkan kembali suaranya. "Lo, kok, di sini?" tanya Thora berbisik. Antisipasi agar Pak Roy tidak mengetahui keberadaannya sekarang.

"Lo nyeret gue barusan," jawab Lia ketus. Gadis itu mengangkat tangannya yang masih berada dalam genggaman Thora.

"Sori, sori," ujar Thora sambil melepaskan genggamannya. "Gue nabrak lo ya barusan?" tanyanya dengan rasa bersalah. Lia menjawabnya dengan anggukan.

"Gue mau keluar dari sini," ucap Lia sembari berjalan menuju pintu.

Sekali lagi Thora menahan tangan Lia. "Sssttt ...." Thora mendesis sambil telunjuknya berada di depan bibir. "Please, kerja sama bentar," katanya berbisik, lalu mengintip dari jendela."

"Kamu sembunyi di mana, Thora?"

Thora menarik kepalanya kembali dan menatap Lia yang ada di sebelahnya. "Pak Roy bakal bantai gue sepertinya," jelasnya sambil terkekeh pelan dan membuat gadis itu mengerenyitkan dahinya, bingung.

"Gue mau pergi dari sini," pinta Lia lagi. Ia tidak mau kalau Pak Roy salah paham saat menemukan mereka berdua yang sedang bersembunyi.

"Aduh, please. Jangan!" Thora mengatupkan kedua tangan seraya menundukkan kepala. "Tunggu bentar lagi sampai Pak Roy pergi," mohon Thora dengan wajah memelas. Ia kembali melongokkan kepala dan Pak Roy masih berdiri di sana. Merasa tidak punya pilihan lain, Lia menahan keinginannya dan ikut menunggu sampai situasi tetap aman.

Berlari sepanjang koridor memang membuat kerja jantung semakin meningkat. Thora mengakui itu. Namun, berduaan dengan Lia di ruangan kecil dengan jarak sedekat ini memunculkan sensasi lain dalam diri Thora. Tubuhnya seperti dipenuhi petasan yang meledak tiada henti. Lalu perutnya terasa bergejolak ketika ia bisa menatap manik mata gadis itu.

"Lo mau tahu nggak kenapa Pak Roy bisa marah sama gue?" ucap Thora mengabaikan detak jantungnya yang tak karuan. Lia hanya meliriknya sekilas. Thora merogoh sesuatu dari sakunya. Lalu ia menggulir layar ponsel dan menunjukkan satu foto yang baru ia ambil beberapa menit yang lalu.

"Nih, lihat!" Gawai dalam genggaman Thora sudah berada di hadapan wajah Lia.

Thora menunjukkan foto Pak Roy. "Gue gemes aja liat foto Pak Roy di mading. Kepalanya bikin silau, jadi gue gambarin rambut kribo. Kumisnya juga gue modif biar makin seram kayak Pak Raden. Terakhir gue kasih kacamata kotak begini. Keren, kan?" Thora memuji tindakannya sendiri.

Lia menggigit bibir bawahnya. Bahkan bahunya mulai bergetar.

"Eh, eh, kenapa?" tanya Thora kaget ketika melihat bahu Lia semakin bergetar.

"Haha ... haha ...." Tawa Lia pecah saat itu juga.

Thora tidak bisa menyembunyikan senyum semringahnya. Letupan-letupan di dadanya semakin meningkat.

Namun, suasana bahagia itu tidak berlangsung lama karena suara pintu yang dibuka mengagetkan mereka berdua. Thora dan Lia melihat ke arah yang sama. Pak Roy berkacak pinggang dengan geraham yang mengatup. Suasana mencengkam langsung menyergap mereka berdua.

"Kalian berdua saya hukum sekarang juga!"

***

AurelianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang