CEWEK KUTUB

476 35 7
                                    

Menerima tindakan-tindakan yang menyakiti hati adalah sebuah cara untuk tetap bertahan dalam persembunyian.

Air langit telah selesai menjalankan tugasnya dan meninggalkan genangan air di beberapa titik jalanan. Orang-orang menutup payung yang telah dipakai begitu juga dengan Aureliana. Dia menggoyang-goyangkan payung agar tetes air hujan yang tersisa berjatuhan, lalu menyimpan payung lipat ke kantong plastik yang sengaja dibawa untuk jaga-jaga karena dia harus menjamin isi tasnya –terutama buku-buku pelajaran– tidak akan basah.

Lia menghirup udara segar di bawah deretan pepohonan rindang. Sudut-sudut bibir mungil yang memiliki lekukan tajam di bagian atas terangkat, menyapa matahari yang mulai bersinar malu-malu di balik awan. Kakinya bergerak menuju gerbang SMA Seruni Bangsa sambil sesekali mengusap lengan kanan dan kirinya agar lebih hangat. Hari ini udara di Kota Bandung terasa lebih dingin daripada biasanya.

Sukacita yang baru saja dia rasakan terusik oleh suara klakson yang berbunyi nyaring. Hanya sekali, tetapi pengemudi itu menekan tombol klakson agak lama. Beberapa pejalan kaki sempat terlonjak kaget dan tentunya merasa kesal. Itu terlihat jelas dari wajah mereka yang memberenggut, sedangkan yang lainnya mengelus dada, meredakan detak jantung yang tiba-tiba bekerja lebih cepat.

Suara klakson itu kembali terdengar hingga membuat Lia menoleh ke belakang. Dari trotoar Lia melihat bahwa suara itu berasal dari sebuah mobil Mini Cooper Clubman berwarna merah yang sedang melaju kencang ke arahnya.

"Aaaa ...."

Teriakan singkat itu cukup menyita perhatian sejumlah pasang mata pejalan kaki. Lia bergeming di pijakannya, mengerjapkan mata beberapa kali. Mata belonya bergerak ke bawah dan mendapati seragamnya basah kuyup dengan warna cokelat mengotori dari bagian pinggang hingga ke kaki.

Lia menatap mobil yang memasuki gerbang sekolah tanpa ekspresi. Gara-gara kecerobahan si pengemudi yang menerobos genangan air, Lia terlihat seperti habis bermain di petak sawah yang berlumpur. Merasa risih karena menjadi pusat atensi, Lia berjalan mendekati pohon kersen besar dan bersembunyi di baliknya.

Dia menyampirkan tas, membuka ritsleting, dan mulai mengaduk-aduk isi tas untuk mencari tisu. Sayangnya benda yang dicari tidak ada di sana.

"Lo ikut gue sekarang!" Seseorang menarik tangan kanan Lia hingga keluar dari persembunyian dan membuatnya nyaris terjatuh.

"Lepasin tangan gue!" seru Lia seraya menahan badannya.

Cowok yang mengenakan seragam sama seperti Lia tersebut menghentikan langka. Dia membalikkan badan dan menatap Lia dari atas sampai ke bawah.

Lia mengentakkan tangannya, tetapi cengkraman orang asing itu terlalu kuat. "Lepasin!"

Orang asing itu maju selangkah mendekati Lia dan mata dengan iris hitam itu memandanginya. Nyali Lia tiba-tiba menciut, dan kepalanya menunduk.

"Pantes, lo diam aja," ucap cowok itu dengan suara seraknya.

Lia mengerutkan alis, tidak paham akan maksud perkataan cowok itu.

"Baru gue lihat gini aja, lo udah ketakutan," lanjut cowok itu lagi. "Harusnya lo tadi teriak. Marah ke pengemudi mobil itu," ucapnya sedikit geram. "Orang kayak gitu harus dikasih pelajaran biar nggak semena-mena. Lihat! Baju lo jadi kotor begini."

Sikap sok tahu orang itu membuat Lia kesal. "Nggak perlu. Masih bisa dibersihin," balas Lia sambil menarik tangannya dari cengkraman yang mulai mengendor dan kali ini berhasil. Lia mundur dua langkah, merentangkan jarak di antara keduanya.

"Aduh! Coba lo tadi nurut apa kata gue. Kayaknya masih sempat gue ngelabrak si kampret," serunya menatap gerbang sekolah sembari tangan kanannya terkepal ke udara.

AurelianaWhere stories live. Discover now