SEJAUH MUNGKIN

73 19 2
                                    







Cukup aku yang tahu, betapa sulitnya pergi menjauh darimu.
Meski mengundang tanya, biar saja aku yang tahu rasanya.

Keesokan harinya, Lia sudah kembali ke sekolah dengan kondisi kaki yang lebih baik. Rasa nyerinya sudah berkurang. Namun, perasaannya terasa begitu mengganjal. Sepanjang menuju kelas, ia memergoki orang-orang menatapnya sambil berbisik-bisik. Ia mempercepat langkahnya untuk sampai ke kelas.

Bangku Reina kosong. Lia sudah tahu itu karena semalam gadis itu memberitahunya lewat saluran telpon. Reina baru akan kembali ke sekolah minggu depan. Dan Lia mulai merasa sendirian. Lia mengigit bibir bawahnya, berjalan cepat menuju ke bangku belakang. Gadis itu mendudukan dirinya di sana. Kemudian memandang ke luar jendela untuk menghindari tatapan teman-teman sekelasnya.

"Si ganjen udah datang rupanya," desis Tika yang tiba-tiba mengisi bangku Reina.

Lia menegakkan punggungnya, ia tampak tidak nyaman dengan kehadiran Tika.

"Kemarin Will nyariin lo ke kelas," ujar Tika dengan tatapan sinis, tetapi Lia tidak membalas pandangan itu. Will pasti mencari Lia karena ingin menanyakan kalung miliknya.

"Apa sih yang bagus dari cewek kaya lo?" Tika mengintimidasi Lia dengan pertanyaannya.

Mata Lia membulat sempurna. Hatinya terasa panas kala mendengar Tika berbicara lancang seperti itu kepadanya. Lia mengerti bahwa penampilannya yang seperti cewek cupu memang tidak memenuhi standar kecantikan cewek cantik di sekolahnya. Rambut panjang yang sengaja diurai menutupi wajahnya. Juga kacamata dengan frame bulat yang membuatnya makin terlihat freak.

Namun, Lia justru muak dengan itu. Cantik atau tidak cantik, sepertinya setiap perempuan pernah menerima penilaian negatif dari orang lain. Lia jadi ingat perkataan Reina, kalau Tika sangat menyukai Will dan tidak segan akan melabrak siapa pun yang dekat dengan Will. Namun, Lia bukanlah seseorang yang sengaja Will dekati untuk dijadikan gebetan, pacar atau semacamnya.

Tika menarik bahu kiri Lia, hingga manik mata cokelat terang milik gadis itu beradu dengan mata Tika. "Nggak bisa jawab pertanyaan gue?" desak Tika yang mulai geram.

Lia menelan salivanya. Tika tentu saja tidak akan dengan mudahnya menerima jawaban Lia. Di mata Tika, Lia merupakan penghalangnya untuk dekat dengan Will. Padahal hubungan mereka hanya dimulai dari secarik kertas yang Will temukan di pintu mobilnya. Itu pun bukan karena Lia yang sengaja melakukannya.

Beruntungnya bel sekolah berbunyi saat itu juga. Tika bangkit dari duduknya sembari menendang pelan Lia, hingga tubuh gadis itu ikut bergerak. Lia memejamkan matanya, kemudian mengembuskan napas pelan. Perasaannya mengatakan bahwa sesuatu yang buruk sedang menunggunya.

***

"Kecewa gue yayang Reina nggak ke sekolah hari ini," keluh Satrian karena rindunya tidak bersambut. Kemarin Satrian sengaja menyambangi kelas Reina, tetapi gadis itu tidak berada di sana. Rizal yang kenal dengan Satrian di klub sepak bola sekolah memberitahu cowok itu kalau Reina pergi ke luar kota karena ada urusan keluarga.

"Yayang, yayang. Pacar lo aja bukan, sok-sokan bilang yayang." Zain berdecak sebal. Lama-kelamaan Zain mulai bosan mendengar cerita cinta yang selalu bertepuk sebelah tangan.

            "Lo perlu dirukiyah, Sat," tambah Thora setelah menelan potongan siomay yang berada di mulutnya.

            "Lo lagi ikut-ikutan." Satrian menatap sebal kedua sahabatnya yang disambut dengan tawa oleh kedua sahabatnya.

"Gue pergi bentar, ya." Thora bangkit dari duduknya. "Bayarin dulu makanan gue. Nanti akhir bulan gue ganti." Thora menepuk satu per satu bahu Satrian dan Zain sebelum beranjak pergi.

AurelianaWhere stories live. Discover now