WILLIAM

170 26 8
                                    

Tanpa harus dikatakan, sunyi telah menyampaikan rinduku kepadamu.

"Akhirnya selesai juga." Reina membuka mulutnya lebar-lebar, tubuhnya menggeliat seperti kucing. "Sumpah! Gue selalu ngantuk tiap pelajaran Pak Rully," ucapnya seraya menepuk-nepuk pipinya pelan. Reina menggosok-gosok kedua matanya. "Lo nggak ngantuk, Li?"

Lia menggelengkan kepala tanpa menoleh. Buku Biologi di tangannya jauh lebih menarik untuk dibaca.

"Eh, eh apaan tuh?"

Tanpa tahu siapa yang berseru, penghuni kelas XI IPA 4 melihat ke luar kelas. Suara derap langkah kaki memenuhi koridor kelas. Reina yang penasaran menarik tangan Lia. "Wah, heboh nih kayaknya," seru Reina menuntut langkah Lia menuju sumber keributan.

Reina berusaha melihat tontonan yang membuat heboh di jam istirahat pertama. Namun, usahanya sia-sia. Bagian belakang diisi oleh manusia-manusia dengan tubuh tinggi menjulang. Saking penasarannya, Reina menerobos celah-celah lautan manusia –masih sambil menyeret Lia agar tetap bersamanya– hingga mereka melihat seorang cowok dan cewek yang menjadi pusat dari keributan ini.

"Siapa yang suruh lo buat kasih cokelat ke gue?" Perkataan bernada tinggi barusan mampu membungkam suara orang-orang di sana. Terdengar mengerikan. Tangannya menepis sebuah kota berbentuk hati yang digenggam cewek di hadapannya. Benda itu tergeletak di lantai dan isinya berserakan dimana-mana.

"Jahat banget sampai dimarahin gitu," bisik seorang siswi yang berada dekat Lia ke temannya yang lain. "Padahal cuma dikasih cokelat. Kan, bisa ditolak baik-baik," lanjutnya lagi.

Sayangnya, Reina dan Lia tidak bisa melihat jelas wajah cowok yang sedang marah-marah itu. Punggungnya menghalangi pandangan mereka.

"Ma ... maaf, Kak," jawab cewek itu dengan badan yang mulai gemetar.

"Lo dengar ya! Jangan pernah muncul di depan muka gue lagi. Ngerti?" pekik cowok bertubuh tinggi itu. Lalu ia membalikkan badan, meninggalkan cewek itu.

Reina refleks menarik Lia untuk memberi jalan, seperti yang dilakukan oleh siswa-siswa lainnya. Tanpa sadar Reina meremas tangan Lia hingga temannya meringis kesakitan.

"YA AMPUN, LIA!" pekik Reina setelah cowok itu berlalu. Langkah kaki kerumunan orang yang baru saja akan membubarkan diri, menatap Reina. Gadis itu menggumamkan kata maaf karena telah membuat heboh dengan teriakannya.

"Dia itu Will!" lanjut Reina, menatap Lia dengan matanya yang mau keluar.

"Will?" ulang Lia seraya melihat cewek yang dimarahi tadi sudah dikelilingi teman-temannya.

Reina berdecak sekali sambil menepuk keningnya. Seolah-olah menyadari bahwa tindakannya percuma. "William Alexander."

Meski Reina berbicara dengan antusias, Lia hanya menatap Reina tanpa ekspresi. "Udahlah, lupain aja!" Reina menyerah. Membicarakan informasi yang tidak terlalu penting ke Lia itu seperti melempar bola basket ke dinding, mental. 

***

"Beh, beli lollipop-nya tiga," ucap Zain seraya menyerahkan uang untuk membayar. Setelah mendapatkan uang kembalian, Zain mendekati Thora dan Satrian yang sedang duduk di kursi depan Warung Babeh yang berada di belakang sekolah. Tiga sekawan itu menongkrong di sana karena lebih sepi. Kios makanan lebih banyak di kantin kelas XII dan XI yang berada di depan sekolah.

Thora membuka bungkus lollipop yang dibagikan oleh Zain. Ketika permen itu menyentuh tonjolan kecil pada lidah Thora, wajah itu langsung mengernyit. Sensasi rasa asam begitu kuat pada permen itu dan sedetik kemudian ia berdecak dengan mata yang melebar.

AurelianaWhere stories live. Discover now