BENDA BERHARGA

130 25 8
                                    

Satu-satunya yang tersisa adalah kenangan kita.

Lembayung senja mulai jelas terlihat. Awan berarak di langit mengiringi perjalanan Will pulang ke rumah. Meski warna langit didominasi dengan orange keemasan, tetapi bola mata cokelat terang itu tiba-tiba melintas lagi di kepalanya. Will berusaha menggubris pikirannya. Bagaimana pun gadis bernama Aureliana itu adalah seseorang yang asing di hidupnya.

Mobil itu memasuki kawasan perumahan elit dan berhenti di depan sebuah rumah mewah dengan pagar berwarna putih yang menjulang tinggi. Seorang satpam berlari hendak membukakan pagar. Mobil merah itu melaju menuju garasi. 

Will keluar dari mobil dengan ransel berada di pundak kanannya. Langkahnya bergerak ke pintu rumah yang berukuran besar. Will bernapas lega ketika tidak menemukan siapapun di sana. Segera ia berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai dua.

Baru menaiki beberapa anak tangga, suara seorang wanita memanggilnya, "Will? Sudah pulang, Nak?"

Mood-nya hancur ketika mendengar suara yang sangat ia benci sejak sepuluh tahun lalu. Wanita paruh baya yang tidak pernah ia inginkan muncul di kehidupannya. Kebencian yang mengakar sejak ia masih kecil. Senyumnya tidak mampu meruntuhkan benteng yang telah Will bangun. Kebaikan wanita itu hanyalah topeng semata bagi Will.

"Ya," jawabnya singkat masih berdiri di pijakannya.

"Ayo kita makan dulu! Mama sudah siapkan makanan kesukaan kamu."

Satu sudut bibirnya terangkat. Mama katanya?

"Saya nggak lapar. Saya mau istirahat aja di kamar." Tanpa peduli pada wanita itu, Will terus melangkah hingga memasuki kamarnya.

Sementara itu seorang cowok remaja berdiri tidak jauh dari wanita paruh baya itu. Perasaan sedih, kecewa, dan marah bercampur menjadi satu ketika ia melihat wanita yang melahirkannya itu menderita. Penderitaan yang membuat ia harus mempunyai jarak dengan ibu kandungnya. Hanya karena seseorang yang hidup tidak mau membuka hatinya dan memilih bertahan dengan kesalahpahaman.

***

Will melempar ranselnya sembarangan, lalu menjatuhkan badannya di atas ranjang dengan posisi telentang. Ia menutup netranya lalu wajah seorang wanita cantik terbesit di pikirannya.

"Ma, aku rindu," ucapnya lirih sembari tangannya bergerak ke leher untuk menyentuh benda berharga yang ia miliki. Ia kembali bangkit dari posisinya hingga duduk bersila di atas kasur ketika menyadari benda itu tidak ada. Will melipat kedua telapak tangan dan menopangkan dagu di atasnya.

Ingatannya memutar kejadian saat di sekolah. Otakanya mulai  mengurai satu per satu kegiatannya sejak pagi hingga sore ini. Mulai dari dia bangun tidur, berangkat ke sekolah dan sampai di kelas. Tak lama sejak ia mulai merenung, kedua matanya melebar. Sekarang ia mengingatnya dan dugannya tak mungkin meleset. Besok kalung itu harus berada di tangannya.

***

Jam dinding menunjukkan pukul 9 malam dan mata Lia mulai terasa berat. Gadis itu beranjak dari meja belajar sembari memijat pundaknya pelan. Badannya terasa pegal sekali padahal ia tidak melakukan kegiatan yang menguras tenaga di sekolah. Ia menguap sekali, duduk di pinggir ranjang, meregangkan tubuhnya.

Kemudian ia menghempaskan dirinya ke atas ranjang berukuran kecil itu. Matanya menerawang ke langit-langit kamar sembari menggusah napas berat ketika mengingat kejadian di sekolah tadi.

Puluhan pasang mata mengikuti langkah Lia, ketika gadis itu memasuki kelas. Lia sudah bisa menebak arti dari sorot mata teman-temannya itu. Namun, itu tidak berlangsung lama karena Bu Inayah juga memasuki kelas. Sehingga siswa-siswa itu harus fokus pada pelajaran atau tidak mereka akan mendapatkan hukuman karena ketahuan tidak memperhatikan pelajaran guru yang terkenal galak itu.

Siang itu, Bu Inayah sedang menjelaskan materi mengenai pengertian dan faktor yang mempengaruhi laju reaksi. Semua penghuni kelas mulai mendengar sambil sesekali mencatat materi. Menyimpan pertanyaan seperti yang lainnya, Reina tidak tinggal diam. Disobeknya secarik kertas dari buku tulisnya. Kemudian tangan itu sudah sibuk menari-nari di atas kertas.

Disodorkannya kertas itu kepada teman sebangkunya. Lia meliriknya sekilas. Kertas itu berisi permintaan untuk menjelaskan apa yang terjadi antara Will dan Lia. Gadis itu memilih untuk mengabaikannya. Meladeni pertanyaan Reina saat pelajaran kimia sama saja seperti mati dengan sukarela di medan perang.

Lagi pula jika Lia menceritakan kejadian tadi kepada Reina, sama dengan mengungkap siapa penulis surat sebenarnya. Ya, Lia langsung tahu siapa pelakunya. Gadis itu kenal baik tulisan di kertas yang Will tunjukkan. Tulisan yang sama persis dengan tulisan yang ia lihat barusan. Yang menjadi pertanyaannya adalah apa motivasi penulisan surat itu. Namun, Lia memilih untuk tidak membahasnya karena Will juga sudah tidak ambil pusing.

Merasa diacuhkan, Reina menarik surat itu dan menuliskan beberapa baris kalimat di sana. "Reina! Coba jelaskan pengertian dari laju reaksi!" Suara Bu Inayah yang menggelegar membuat Reina terkesiap. Tangannya berhenti menulis. Lia bisa melihat wajah Reina berubah pucat pasi.

Reina mengigit bibir bawahnya, tidak mampu menjawab pertanyaan Bu Inayah. "Kalau guru sedang menjelaskan, tolong diperhatikan!" Reina mengangguk pasrah, mengakui akan kesalahannya sendiri. Beberapa teman di kelas menatap Reina kasihan dan ada juga yang melihatnya sambil menahan tawa. Namun, ada seseorang yang justru melemparkan pandangan berbeda.

Lia masih ingat dengan jelas saat Tika menatap sinis padanya. Diperlakukan seperti itu membuat pertanyaan baru muncul dibenaknya. Kesalahan apa yang telah Lia perbuat kepada Tika? Memikirkan kejadian beberapa hari terakhir membuat kepala gadis itu berputar-putar. Satu hal yang mulai ia sadari, kehadirannya sudah menyita perhatian temannya juga dan hal itu yang membuat Lia merasa takut kalau suatu saat nanti masa lalunya terkuak.

"Loh, cucu Nenek belum tidur?"

Lamunan Lia musnah seketika. Kedua sudut bibir Lia terangkat sembari mendudukan dirinya di atas kasur. "Belum ngantuk, Nek." Lia menghambur ke pelukan Nenek yang sudah duduk di pinggir ranjangnya.

Nenek membelai rambut panjang Lia kemudian mencium pucuk kepalanya. "Pasti lagi ada yang dipikirin, ya?" tanya Nenek yang dijawab dengan pelukan lebih erat karena tebakan Nenek hampir tidak pernah meleset.

"Jangan semua dipendam sendiri, Lia. Kamu nggak sendirian, Nak," lanjut Nenek yang mengkhawatirkan Lia.

"Iya aku nggak sendirian. Aku kan punya Nenek," jawab Lia, melepas pelukan Nenek sambil menatap wanita tua itu penuh kasih sayang. Aku nggak mau nambahin beban Nenek dengan memikirkan aku.

"Berarti kamu mau cerita sama Nenek?"

Lia memiringkan kepalanya, bertingkah seolah sedang berpikir. "Semua baik-baik aja kok, Nek."

Nenek menangkupkan tangan ke wajah Lia. Ditatapnya mata Lia lekat-lekat. Sorot mata yang menyatakan kejujuran.

"Bertahun-tahun Nenek hidup bersama kamu. Susah senang bisa Nenek lihat dari sini," ucap Nenek sambil membelai lembut kelopak mata Lia. "Jangan takut kalau kamu akan membebani Nenek, Nak. Nenek nggak mau kamu menyimpan semuanya sendirian."

Seulas senyum terbit di wajah Lia, kemudian ia mengangguk. Lia menggenggam tangan Nenek yang masih berada di pipinya. "Makasih ya, Nek. Nenek sudah rawat Lia dengan sabar sampai hari ini. Lia sayang Nenek.

Suasana di kamar Lia mengharu biru. Gadis itu tidak pernah berhenti bersyukur kepada Tuhan karena ada seseorang yang mau menerimanya dengan tulus.

"Nenek juga sayang, Lia." Dipeluknya lagi gadis muda di depannya. Setelah itu Nenek beranjak pergi dan membiarkan Lia beristirahat sebelum malam terlalu larut.

Kalung dengan liontin perak yang tergelatak di atas nakas, mengambil alih perhatian Lia. Liontin itu terbuka ketika Lia tidak sengaja menekan sesuatu di pinggirnya. Sebuah foto hitam putih dengan potret seorang wanita yang menggendong anak laki-laki dengan tangan kirinya. Suha bisa dipastikan pemilik kalung itu adalah seorang lelaki. Kalung itu pasti milik Will. Lia memijat keningnya pelan. Jika memang benar pemiliknya adalah Will, itu artinya dia harus berurusan lagi dengan cowok galak itu.

***

AurelianaWhere stories live. Discover now