CHAPTER 19

1.5K 202 31
                                    

Seperti sebelumnya, semua berjalan seakan tidak pernah terjadi masalah. Haeyoung masih membuatkan sarapan dengan ekstra telur mata sapi setiap paginya, dan Namjoon masih mengumpat di balkon saat bermain game sembari menunggu sarapan untuknya selesai dibuatkan.

Sejak malam itu, balkon jadi dialih fungsikan menjadi tempat bersantai. Jemuran agak tersisihkan karena hanya berguna untuk menjemur pakaian dalam, sedangkan untuk pakaian lain mereka lebih memilih untuk memakai jasa laundry.

Sebab cuti mendadak yang diambilnya selama seminggu waktu itu, Haeyoung harus rela kehilangan dua siswa privatnya yang tidak sabar menunggu dan mencari guru lain. Karena hal itu, Haeyoung jadi memiliki dua hari yang senggang sampai mendapatkan siswa baru lagi.

"Joon, aku hari ini pergi, ya?" kata Haeyoung, yang belakangan menjadi senjata baru untuk mencuri perhatian Namjoon dari game yang digilainya.

Sejak kejadian terakhir yang membuat Haeyoung sembunyi entah di mana selama seminggi, Namjoon seakan trauma dengan kata pergi yang lolos dari celah bibir Haeyoung. Pria itu tahu jadwal kerja Haeyoung, dan di luar jadwal itu, Namjoon seakan sulit memberi izin bagi sang kekasih untuk pergi.

"Ke mana?" tanya Namjoon penuh selidik. Perhatiannya dari game belum sepenuhnya teralih, tapi setidaknya Haeyoung berhasil mencuri sebagian. Sebelumnya Haeyoung pernah sempat kesal saat Namjoon terlalu fokus permainannya sendiri dan mengabaikannya, sampai Haeyoung sengaja menjatuhkan gelas kaca di dapur, baru Namjoon bertanya ada apa.

"Ke rumah Hoseok. Entah kenapa di sana sekarang lebih menyenangkan walau hanya menonton drama seharian, dibanding tetap di rumah denganmu tapi diabaikan karena game."

"Sebelumnya kau tak pernah mempermasalahkan ini."

"Sebelumnya kau tak pernah semengekang ini." Walau tak diucapkan dengan kata-kata, Haeyoung menyadari bahwa Namjoon sebenarnya ingin melarangnya pergi di luar waktu bekerja. Namjoon ingin menjaga Haeyoung tetap berada di dalam jangkauan pandangannya.

"Jika aku tidak bermain game, kau akan tetap di rumah?"

"Ya. Ada aku, kenapa masih memainkan game di ponsel? Tidak sedang mempelajari game keluaran perusahaan tertentu, 'kan?"

"Tidak. Biarkan aku selesaikan yang satu ini, dan ponsel ini akan kusimpan sampai besok pagi. Tapi hanya hari ini. Kau tahu aku sulit menjaga jarak terlalu lama dari game."

"Sampai besok pagi sudah cukup."

Sembari menunggu, sembari Haeyoung mengawasi. Yang terjadi waktu itu rupanya tanpa sadar telah mengubah sedikit banyak hal dalam hubungan mereka. Namjoon yang lebih protektif, juga Namjoon yang lebih bisa menyisihkan egonya walah baru dalam bentuk mengesampingkan game yang nyaris setiap detik dimainkan—kecuali saat tidur tentunya.

Haeyoung juga memikirkan apakah ada hal lain yang berubah dari dirinya. Ia masih yakin cintanya pada Namjoon masih dalam kadar yang sama. Walau belakangan ia bel pergi ke kelab lagi, menurutnya itu belum masuk hitungan perubahan karena memang ia belum ingin ke sana.

"Hae," panggil Namjoon, dengan pandangan yang tak beralih dari layar ponsel. "Bagaimana jika nanti kau kupertemukan dengan kakakku?"

Haeyoung tertegun. Namjoon berubah lebih banyak dari yang diduga. Membawa Haeyoung untuk bertemu seseorang yang selama ini disembunyikannya adalah langkah besar, yang tak diduga akan terjadi secepat ini.

Namun yang jadi pertanyaan, apakah Haeyoung siap?

***

"Jungkook, katanya kau habis dipukuli?"

PORCELAINE [TELAH TERBIT]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu